Senin, 29 September 2014

Bertarung Mengusir Tikus

29 September 2014


Masak di dapur di temani tikus yang seliweran itu sangat mengganggu. Lagi sreng srengi, numis bumbu, tikus lari nyerempet kaki, mengelikan jantung. "Copot eh copot," kata maknya Adi Bing Slamet. 

Pada saat khusuk memotong-motong sayur, brambang, bawang dan teman-temannya, si tikus pun rela menemani. Nyanyian cit cit cit nya itu sama sekali tidak menghibur. Beda kalo cit cit cit cuit nya Joshua jaman cilikannya. Pokoknya sebel sebel sebel sama si tikus itu.

Kubuat surat untuk para tikus itu. 

"Tikus yang juga mahluk ciptaan Allah. Duhai tikus, aku tidak tahu kenapa dirimu diciptakan di dunia ini. Tentu ada manfaatnya. Tapi, maaf ya tikus, aku tidak merasa begitu. Sejujurnya aku sangat terganggu tikus. Bila kalian ingin mencari makan di dapurku, sebaiknya kalian keluar ke depan rumah. Semua sisa makanan kubuang di sana. Aku memudahkan kalian kok tikus. Sampah makanan dan plastik kubungkus terpisah. Dicari sendiri saja. Kumohon pergilah dari rumahku. Sekian dan Terimakasih."

Tadinya surat itu ingin kusertakan dengan lem tikus. Niat itu kuurungkan. Membayangkan seekor tikus lengket di papan lem dan harus kubuang sendiri, langsung merinding disko. Melihat tikus mematung kena lem sama saja dengan cicak yang tak bernyawa. Bagiku keduanya bagai tantangan "Fear Factor."

Surat kepada tikus itu kupajang di tumpukan kardus tempat yang kuduga kuat markasnya para tikus. Tikus ini memang lebih dari satu. Berkomplot. Atau jangan-jangan beranak-pinak. Oh, tidak tikus. Kau membuatku gemas. Dilarang berkeluarga di rumahku! Hormatilah tuan rumahnya. 

Semoga saja komplotan tikus itu membaca surat dan mau mengerti. Toh, film Tom&Jerry juga, tikusnya lebih pintar dari si Kucing. Namun setelah seminggu, mereka masih saja betah di rumah kardusnya. Tambah nekat! Kejar-kejaran kayak di film India! Gemesss.... 

Karena mereka, anak-anak jadi takut ambil minum ke dapur. 

"Takut apa nak? Takut hantu?"

"Takut tikus..." kata si kecilku yang sholehah. 

Cukup sudah tikus! Benar-benar tantangan "fear factor" yang harus kumenangkan. Tikus bukan sekedar merusak ketenangan hidupku dan anak-anak. Juga mengacaukan rencanaku untuk melatih anak-anak mandiri. Ambil minum sendiri. Sekarang mereka kembali lagi merengek, 

"Ibu haus. Ambilin minum. Aku takut ada tikus di dapur. Nanti kalo mas ambil minum terus tikusnya lewat, gimana? aku kan takut," rengek si Sulung sedikit berargumen.

Cukup tikus!!!

Oh, aku sebenarnya geli juga padamu tikus. Memang sih, meski suami ada di sisiku tetap aku yang harus berhadapan denganmu tikus. Suamiku 1000 kali lipat lebih gilo daripada aku. Tapi kalo boleh memilih lebih baik aku ngusir coro saja. Namun aku tetap mengharapkan kehadiran suamiku. Menemani diriku mengusir tikus. 

Melihat suami melompat naik ke kursi dan ke atas meja. Dan ketakutan itu bagaikan bensin bagi semangatku mengusir para tikus itu! Lah, suamiku sedang menunaikan tugas negara, aku pun harus mengusirmu sendiri. 

Dengan mengucap Bismillah dan membayangkan wajah suami yang sedang di atas meja sambil ketakutan aku pun mulai berperang dengan tikus. 

Satu per satu rumah kardus tikus kuhancurkan dan kuobrak-abrik. Benar sekali dugaanku. Mereka berkomplot. Ada tiga tikus bermukim di sana. Setelah puas melihat mereka berlarian. Aku juga lompat lompat gak karu-karuan. Saatnya membersihkan medan pertempuran. 

Gerakan sapu ke kanan kiri. Seperti wiper kaca mobil membersihkan asa ku. Hah. Lega. Tikus sudah pergi. Kardus-kardus itu kubuang ke tempat sampah. Sambil mengangkat kardus 90cmx90cm itu. Tampaklah seekor tikus sedang berbaring. Matanya memandangku sayu. Selanjutnya????

Oh, Sudahlah tikus.... 

Cukup peperangan kita hari ini. Jantungku cuma satu. Pergilah dengan damai. 

#Obat pengusir nyamuk, karbol, kapur barus, pengharum ruangan, detergen, pembersih lantai, aromanya bercampur jadi satu buat pusing kepala. Bagaimana dengan kepalamu tikus? 










Minggu, 28 September 2014

Hore, Nemu Ayam Goreng Fied Chicken Asli Solo


Rumah makan cepat saji dengan ayam kriuk kriuk. Dilengkapi fasilitas area permainan anak-anak. Adalah tempat yang cepat ditemukan di belantara otak yang lagi ruwet dan kemrungsung, ketika anak-anak merengek lapar sementara tak ada makanan di rumah. Tapi bukan resto yang 'itu', dimana mengingatkan pada Gaza.

Wuzzzz....

Kamis, 25 September 2014

Kurikulum 2013 bikin anak stres, orang tua mumet, guru nya puyeng.


Saya pernah baca surat edaran Kemendiknas yang seliweran di FB. Entah siapa yang membaginya. Intinya, siswa TK dilarang diajarkan calistung - baca, tulis dan berhitung. Juga melarang calistung sebagai tes masuk SD. Sebagai orangtua, kabar ini sangat menyejukkan. Calistung memang harus dikenalkan di TK, dengan tahapan pengenalan semata. 

Namun, sayangnya setelah duduk di bangku kelas 1 SD, terjadilah penjomplangan itu. Bikin mulut saya ternganga, emosi membara, otak semrawut. Surat dari guru kelas nya mengatakan, "Mohon ananda dibantu calistungnya, agar tidak ketinggalan materi."

"Apa-apaan ini? Materinya seperti apa sih???"

Rabu, 17 September 2014

Saya Ikhlas, Saya Pasrah, anak-anak sholeh-sholehah=SEFT


17 September 2014

Bagi setiap orang tua pasti sering mengalami komplikasi emosi dalam menghadapi anak-anaknya. Terkadang perubahan-perubahan kecil dalam diri mereka membuat Ibu salah paham, agak bludrek. Kadang-kadang tercetus begitu saja, “Aku harus gimana lagi menghadapi anak-anak. Argghhhhh!!!”

Idealnya, kita selalu ikhlas dan pasrah. Kenyataannya sangat sulit untuk dijalani. Apalagi saat berperan sebagai orangtua. Meskipun sudah paham dengan teori mengenai pola asuh anak (baca di buku 37 perilaku buruk orang tua, karya Ayah Edy), tapi tetap sulit dijalankan dalam kehidupan nyata.  

Saat sedang dalam kondisi labil ini, seorang adik yang berprofesi sebagai Psikolog memberi bacaan Buku SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) karya Ahmad Faiz Zainuddin, penggagas SEFT. Katanya lagi booming di dunia psikologi Indonesia. Saya gak paham dunia itu.
Dalam buku itu, dikatakan teknik SEFT aman digunakan untuk anak-anak dan tidak ada efek sampingnya. Tapi apakah SEFT itu? Menurut saya setelah baca buku ini. Ringkasnya, SEFT ini adalah suatu teknik terapi yang menggunakan unsur Spritual dalam teknik terapinya mengatasi medan pikiran yang bisa mempengaruhi kondisi emosi, kesehatan dan perilaku. 

Rabu, 03 September 2014

Serunya Jadi Jurnalis Lokal Banget

3 Septermber 2014

Belakangan Jurnalis media massa jadi tren baru profesi favorit. Dunia yang dinamis, seru, ‘berwawasan’, jadi yang pertama tahu. Rasanya itu sesuatu banget –pinjam istilahnya Syahrini. Dan pengalamannya? Buanyak. Tidak pernah menyesal pernah berkecimpung di dunia jurnaliseme. Setidaknya punya banyak cerita untuk anak-anak ku tercinta.

Selasa, 02 September 2014

Si Sulung Butuh Bapak


 “Ibu, yatim piatu itu apa?” Tanya si Sulung. 
“Anak yang tidak ada orang tua. Tidak ada ibu dan bapak,” jawabku bijaksana.
“Kalau anak yatim?”
“Anak yatim adalah anak yang tidak ada bapaknya,” jawabku lagi.
“Oh, seperti mas ya bu. Tidak ada bapaknya,” simpulnya polos.
“Oh, bukan sayang. Bapak mas ada tapi sekarang kerja di Tahuna. Jauh di sana,” jawabku sambil menahan air di pelupuk mata.
“Lho, bapak kan tidak ada di rumah. Jadi mas, anak yatim,” yakinnya lagi.
“Maksudnya, anak yatim itu adalah anak yang bapaknya sudah meninggal. Seperti Mbahkung yang sudah meninggal,” terangku masih menahan isak tangis.
“Oooo... kalau meninggal tidak bisa ketemu lagi ya. Seperti mbahkung tidak ketemu lagi sama mas. Kalau bapak masih bisa ketemu?”
“Terus kapan bapak pulang?” cerocosnya dengan kilat mata yang bikin air mata ibunya tumpah.
Duh....


 Resikonya, menjalani hubungan jarak jauh. Lengkapnya hubungan pernikahan jarak jauh. Anak usia 6 tahun sepertinya sangat membutuhkan kehadiran formasi lengkap kedua orangtuanya. Tapi apa daya tidak bisa melawan takdir. Hanya memanjatkan doa setiap malam untuk mengubah nasib agar lebih baik. 

Keluarga kami bukan satu-satunya yang mengalami nasib yang sama. Keluarga tentara, keluarga pelayar, keluarga Kementrian Keuangan yang programnya dipindah-pindah, keluarga para pekerja tambang. Keluarga mana lagi, ya? 

Tulisan ini bukan untuk mengeluhkan jalannya drama keluarga jarak jauh, tapi tentang Si Sulung. Dia yang berkarakter cuek-cuek butuh dengan bapaknya itu, sudah mulai mengungkapkan isi di hatinya. Bagi saya itu penting dalam perkembangan si Sulung. Karena selama ini, dia termasuk tipe yang 'mendem jero,' tidak mengungkapkan apa yang dirasakannya.

Dalam fase ini, si Sulung tentu sangat membutuhkan peran ibu dan bapaknya. Kedua peran itu lah yang harus saya jalankan berasamaan. Agar dia tidak merasa timpang. Kebutuhan akan peran sang Bapak bisa saya cukupi.


Sebenarnya apa saja sih, kebutuhan anak laki-laki 6 dari bapaknya.

- Bapak menjadi model dan memberi pengaruh, baik emosi, sosial, maupun fisik

-  Belajar mengomunikasikan perasaan kepada keluarga. Anak kerap salah memahami mood jelek orang tuanya dan menganggap dirinya penyebab kemarahan orang tuanya.


·        - Belajar mengekspresikan perasan. Laki-laki yang mencari dan mendapat dukungan emosi dari keluarga akan mengalami kehidupan keluarga yang harmonis.

·         - Anak laki-laki belajar memperlakukan perempuan dengan mengamati ayah.

·         - Banyak hal yang bisa dipelajari oleh balita laki-laki dari bapaknya. Pastinya, sebagai bapak harus menjadi contoh yang baik bagi anaknya, khususnya laki-laki. Dari bapaknya, anak laki-laki ingin belajar menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab, dan menerima maskulinitasnya dengan gembira.

Bahkan dari suatu penelitian bapak perlu berinteraksi dengan anak sedikitnya dua jam sehari dan enam setengah jam di akhir minggu. Dengan bertambahnya usia anak, jumlah waktu bisa saja berkurang. Namun kebutuhan anak laki-laki untuk berinteraksi dengan ayah, dua kali melebihi kebutuhan anak perempuan. (sumber: http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/balita/psikologi/)

Peran bapak yang tidak bisa terpenuhi ini mejadi kewajiban bagi saya, Ibunya untuk melengkapi. Peran ibu sekaligus bapak. Sehingga dia tidak merasa seperti anak yatim tadi. Mungkin si Sulung belum bisa memahaminya sebagai arti kata harfiah. Tapi bagi saya, pertanda bahwa Si Sulung sangat membuthkan bapak. 

Hal penting yang harus saya lakukan saat ini adalah berhenti mengeluh dan tampil maskulin dan gagah seperti bapak. Anak-anak bisa mendapatkan ibunya lagi saat tidur, makan bersama, masak bersama, hal yang menampakkan sisi feminin. Meluangkan waktu yang lebih banyak untuk mengajaknya bermain basket, bulutangkis, gulat, bersepeda, dan kegiatan yang biasa dikerjakan Anak-Bapak.

Gimana? InsyaAllah bisa! Stop mengeluh. 

Apapun kondisi keluarganya, apakah utuh (formasi lengkap), utuh namun berjauhan, bercerai, atau yatim (piatu), anak-anak lah yang terdampak. Sulit bagi mereka untuk memahami dan mengerti kondisi keluarganya dalam usia yang belia.

"Semoga anak-anak bisa mengerti kondisi keluarganya kelak dan bisa tumbuh berkembang dengan baik." 

Aamiin




Senin, 01 September 2014

Kelahiranku di IIDN


Kata seorang teman, wanita dilahirkan tiga kali. Saat lahir dari rahim ibu, saat menikah dan saat menjadi ibu. Manggut-manggut. 
Berarti saya sudah tiga kali dilahirkan dong. Jadi bayi, jadi istri dan jadi ibu yang punya anak. Tapi saya merasa lebih lagi ya. Saya lehir empat kali! 

Kelahiran saya yang keempat dialami setelah jadi ibu dari dua orang anak. Ketika saya berkenalan dengan komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) di Solo. Saat kopdar pertama sekitar Desember 2013. Saya resign setelah melahirkan si sulung, (Oktober 2008) sebagai bekas wartawan dan akrab dengan dunia jurnalisme dalam delapan tahun terakhir sebelum melahirkan.

Praktis juga mengundurkan diri dari dunia menulis. Energinya habis untuk mengurus bayi dan mengatasi sindrom baby blues otodidak. Heh? Saya mengenali gejala sindrom stres pasca melahirkan dan mengatasinya seorang diri. Alhamdulillah, selamat masih hidup sampai hari ini. Lho? Sudahlah tak usah dibahas tentang sindrom itu. Perih.

Tercabut dari habitat itu rasanya sepi. Jauh dari habitat keluarga, teman dan menulis. Tapi untung masih bisa nulis meski nyolong-nyolong waktu. Pas lagi nggendong, pas lagi makan, pas lagi bayinya tidur, pas selesai sholat. Habis berdoa baru nulis... Gak lama kok cuma lima menit. Nulisnya di aplikasi memo HP jadulku. Tahun 2008 itu saya belum punya akun Facebook, masih Friendster. 

Semua tulisan pendek saya ada di memori Hp Jadul itu. Kebetulan Hp nya rusak dengan suksesnya. Ini prestasi si sulung yang lagi semangat mengenal semua benda melalui mulut. Air liurnya masuk ke dalam micro chip di HP itu. Ya elah micro chip... Ganti HP baru. Nulis lagi di HP yang bukan Blackberry itu. Sukses rusak lagi dengan air seni si sulung yang lagi belajar rambatan (tahapan belajar jalan). Ya, sudahlah. Ganti HP lagi, Nokia pasaran seri entah keberapa. Aplikasi yang ada hanya bisa buat nelpon dan sms. Gak ada kamera. Sedih. Nelangsa. 

Setelah melahirkan anak kedua sekitar 2013. Saya kembali eksis di dunia maya dengan akun Facebook. Friendster udah gak bisa di akses lagi ternyata. Akhirnya saya berjumpa dengan komunitas IIDN Solo. Kami janjian untuk bertemu pada kopdar yang pertama kalinya dalam sejarah lahirnya IIDN Solo. 

Pada pertemuan pertama kami, asli saya deg-degan. Kayak ketemu pacar. Aku pakai baju apa? Nanti pas kenalan ngomong apa? Ngomongnya gimana? Tren topik sekarang apa ya, biar tidak dicap kuper. Apadahal kuper tingkat Mahadewa. Sinteron favorit yang meraih rating tertinggi saja saya tidak tahu. Tapi presiden ke-6 jilid 2 untungnya tahu sih. 

Berkenalanlah saya dengan anggota komunitas IIDN Solo. Sebagian besar memang sudah ibu-ibu. Tapi masih ada yang single kok. Mereka memang wanita-wanita inspiratif. Bukan dari dunia jurnalisme tapi sudah menghasilkan karya yang membuat saya malu. Ada Bu Indari Mastuti- penulis buku dan pendiri komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis yang mengindonesia bahkan merambah luar negeri (baca di sini) Candra Nila Murti Dewojati – penulis buku masuk sorga walau belum pernah sholat, dan lebih dari 23 buku lainnya, Ety Abdoel- blogger yang terkenal di dunia maya, Astutiana- Guru yang berusia kepala 5 tapi berjiwa muda sudah menghasilkan beberapa buku, Fitri Elfad Burhani- sudah menulis 4 buku di sela waktu kerjanya, Rosie Deedee – babysitter yang pinter, penulis cerpen media massa. Sarah Mantovani sang mahasiswa dan jurnalis, Mbak Noer Ima Kultsum, seorang guru dan petani yang hobi menulis -juragannya Jon Koplo nya Solopos-, Hanna Aina, rajin menulis di sela waktu meracik obat. Masih banyak lagi kayaknya. 

Sudah lima kali kami menggelar kopdar. Rasanya, seperti menemukan habitat yang tepat lagi. Tempat yang saya rindu. Ya, seperti menemukan keluarga baru. Ada Ibu Astutiana yang kami panggil yang ti, ibu Candra sang penasehat. Ibu Siti Nurhasanah, mbakyu yang manis dan semangat bila ada iming-iming hadiah. Ibu Arinta yang imut tapi cerpennya mengalahkan sang pemburu hadiah. Meskipun banyak yang berprestasi ini bisa bikin iri hati dan keki. Tapi mereka tidak pelit informasi. Dengan ikhlas mereka bagi-bagi. Kami saling menyemangati. Membuat nyaman hati ini.

Dari para wanita hebat ini kami saling menyemangati. Saling memberi informasi untuk membangun diri. Kami bukan sekedar istri dan ibu yang kehilangan potensi. Meski berdiam di dalam rumah tapi potensi bisa diasah tajam melebihi belati. Apalagi ada embel-embel royalti. Tidak keluar rumah tapi menghasilkan money. Hihihihi...


Dari merekalah saya dilahirkan yang keempat kali.

Akhir kata. Terima kasih.