Jumat, 24 Desember 2021

Nikah atau Jomblo Forever?

Menikah atau tidak ya?

Isu ini kok ya asik aja buat dibahas. Aku - maksudnya yang pengen bahas. Tergelitik dari berita yang kubaca, "Nicholas Sean Tidak akan Menikah" -DetikHot. 

Kenapa? Salah satu alasannya karena sulit mengontrol hal lain dari luar. Lebih mudah mengontrol diri sendiri, daripada orang lain (mis: pasangan dan keluarga besarnya, anak-anak dll). 

Memang betul ya yang dipikirin putranya Pak Ahok (mantan gubernur DKI) ini. Kalo di rumah tangga itu ada aja dinamikanya. Ciyeee dinamika... Pasangan udah oke nih, eh ada aja masalah dari keluarganya. Atau anak-anak yang dinamis sekaleee. 

Aku juga sempet mikir kayak dia. Tapi beda alesannya. Kalo aku tu alesannya karena menikahkan adalah pilihan  alias sunah alias gak wajib. Jika pun gak menikah, juga gak papa, selama kita menjalani hidup dengan bermanfaat. Ya, gak menyesali diri karena beranggapan diri 'gak laku'.

Tapi pemikiran ini pasti ditentang orangtua lah. Iya lah yaaaa... Karena, menurut pandangan (entah pandangan siapa), tugasnya orangtua itu selesai jika anaknya sudah menikah. Kalo misal belom ya berarti tugas orangtua belom selesai.

Termasuk Ibuku mikirnya kayak gitu. Jadi, aku harus menikah. "Jika, anaknya bisa mandiri dan gak jadi beban keluarga, bukannya tugas orangtua juga selesai?" Kataku pada Ibuk.

"Gak gitu, yooo... Kalo anak gadis gak nikah- nikah, tanggung jawab atasmu ada di pundak Bapakmu. Kalo udah nikah, beralih ke suami."

Singkatnya, Aku manut untuk menikah. Dengan laki-laki pilihanku. Minimal tugas Bapakku selesai... 

Dan, memang drama rumahtangga itu ada-ada aja. Baik dari diri kita sendiri, pasangan, orangtua sampai lingkaran luar. Ngaduk-aduk perasaan. Ya, seperti yang dibilang Nicholas itu. Sulit dikontrol. Tapi itulah seninya kehidupan... Canda seniii. Minimal orang sudah menikah itu sudah jadi survivor sejati. Gak perlu lagi nyari tantangan uji nyali atau uji adrenalin. 

Jadi gimana ini, menikah atau tidak? Wis lah apapun pilihannya yang terpenting itu keputusanmu sendiri. Jangan menikah karena 'terpaksa'. Atau tidak menikah karena 'gak laku'. Kamu harus menghargai dirimu sendiri. 

Kamis, 25 November 2021

Pansos Itu Positif

Pansos atau panjat sosial. Bahasa inggrisnya adalah social climbing. Bagi saya generasi kelahiran 80, sebutan ini termasuk baru. Saya pikir, wah kata baru lagi nih semacam bahas gaul jaman ini. Ya, kayak jaman 90an sampe Debby Sahertian (artis 90an) bikin kamus bahasa gaul. 

Waktu Saya nemenin anak sulung Saya belajar IPS (sekolah di rumah jaman pandemi), ternyata itu bahasa baku loh. Termasuk dalam materi pemahasan mapel IPS Semester 1, Sub Bab Mobilitas Sosial. 

Singkatnya dalam pemahaman Saya, mobilitas sosial adalah perpindahan (pergerakan) status sosial seseorang. Ada yang bergerak naik dan ada yang turun. Salah satu perubahan status sosial ini, adalah social climbing atau panjat sosial. Panjat sosial di sini konotasinya positif. Artinya perubahan status sosial itu berubah 'naik'. Misalnya pengaruh dari struktural jabatan. Seperti guru lalu naik jabatan menjadi kepala sekolah. 

Padahal Social Climbing yang Saya pahami dari Sosial Media, konotasinya negatif. Ya, seperti adanya istilah BPJS (Bujet Pas-pasan Jiwa Sosialita). Atau, Maksain diri gitu.

Jadi, yuk mari ah kita pansos. 

Rabu, 03 November 2021

Pengucilan Juga Bullying

Bully atau perundungan.

Siapa sih yang mau anaknya dibully? Jangankan dibully, anaknya dimarahin Bapaknya atau neneknya aja, Aku bisa baper. 

Jadi tuh anak mbarep cerita tentang pengalamannya di SD. Katanya waktu dia kelas 6 jadi masa tersedihnya. Intinya, dia merasa dikucilkan. 

Aku pernah notice waktu jamannya dia sekolah kelas 6. Mereka ada proyek akhir, berkelompok. Nah untuk memudahkan komunikasi dibentuklah grup wa kelompok mereka. Proyek ini berlangsung kira2 4 bulanan. Mulai perencanaan, riset sampai eksibisi (pameran).

 Suatu hari anak Saya selalu ketinggalan informasi mengenai kegiatan kelompoknya. Ternyata dia dikeluarkan dari grup wa nya itu. Karena di grup itu ada Ustad (guru) pembimbing, Saya menghubunginya, agar membantu si mbarep.

 Ternyata sampe akhir kerja kelompok, dia tidak kunjung dimasukkan lagi ke grup itu. Si anak mbarep merasa cuek karena dia minta tolong ke teman sesama kelompok. 

Agak aneh kurasa kalo si Ustad itu mendiamkan hal itu. Tapi ya, kubiarkan saja. Namun kucoba sharing dengan wali kelas. Nah, menurut wali kelasnya anak Saya yang anti sosial. Dia selalu menghabiskan waktu di book corner (Dalam kelasnya ada pojok membaca). 

Akibatnya dia asik dengn duniamya sendiri. Wali kelasnya menghilangkan book corner agak anak Saya nge blend. Dan, katanya berhasil. 

Dan saat semester kedua sampai kelulusan SD, dia dikeluarkan dari grup kelas nya yang mana ada Wali kelasnya di sana. Dan, tak ada upaya dari Ustadzahnya untuk bertanya. Heh?

The other side... 
Saya konfirmasi kata Ust, kalo dia senang menyendiri. Eh, alasannya ternyata dia capek selalu diejek. Salah satunyakarena gak punya hape sendiri. Dia selalu pake hape Saya (Saya komit untuk tidak memberikan hape sebelum usia 13 tahun). 

Saya nanya dong, teman2mu ngejeknya pas gak ada Ust, ya? Enggak kok. Malah Ust liat mereka ejek2 aku. Tapi Ust diem aja. Katanya masa SD nya gak bahagia karena gak punya teman. 

Aku speechless mendengarnya. Karena, udah gak bisa konfirmasi ke Ust nya langsung. Lah wong anaknya udah lanjut SMP. Ah, gak guna juga. 

Seandainya aku bisa sampaikan, Aku cuma mau bilang ke Ustny, kalo Bully itu bukan cuma Bully secara fisik dan verbal saja. Tapi pengucilan itu juga termasuk bullying. Jika ada anak yang terlihat 'anti sosial', jangan langsung dijudge anti sosial dan dipaks nge blend. Karena lingkungannya itu yang mengucilkannya. 

Tulisan ini hanya ungkapan kekecewaan Saya saja. Karena Saya pikir sekolah itu memang tidak ada diskriminasi (apalagi bully). Yaaah, Saya akui tergiur gitu deh dengan sekolah tanpa diskriminasi-nya itu. Minimal, jika ada peristiwa perundungan, sekolah bisa bertindak dengan baik. 

Hey me! Gak ada itu sekolah tanpa diskriminasi. Apalagi sekolah tanpa bully. Bagaikan pungguk merindukan bulan aja lah Aku ini. 

Jadi sebelum anaknya daftar ke sekolah, kuat2 in mental ya Mamah2. Cari info cara menguatkan anak menghadapi bullying. 







T

Minggu, 20 Juni 2021

Sepenggal Cerita Tentang VBAC

Pengen cerita tentang VBAC (Vagina Birth After Cesarian), anak ketiga ini ~ lahir akhir febuari 2021 lalu. VBAC adalah melahirkan normal setelah cesar. Sembilan tahun lalu Saya melahirkan anak kedua, secara Cesar. Posisi bayi yang melintang, adalah alasannya. 

So, dengan kondisi kehamilan yang sekarang ini. Posisi janin yang baik, maka kata dokter kandungan yang rutin Saya datangi, Saya bisa melahirkan secara normal atau VBAC. Kemudian....

Mulailah Saya berseluncur cari informasi mengenai VBAC. Dan ketemulah dengan konsep gentle birth. Hal pokok yang Saya pahami, gentle birth itu adalah bagaimana wanita bisa melahirkan dengan nyaman, tenang dan minim trauma. 

Minim trauma ini penting buat Saya. Kenapa? Karena Saya trauma saat dua kelahiran sebelumnya. Bukan saat melahirkan tapi saat momong aka babyblues (ppd). Kebetulan melahirkan secara cesar itu setelahnya bikin banyak drama dalam kehidupan. Jadi Saya pikir kalau Saya bisa melahirkan secara normal, maka proses pemulihannya lebih cepat (pengalaman Saya begitu). Sehingga stamina Saya cukup untuk memulai hidup sebagai Ibu baru anak tiga. *eng....

Searching punya searching, sekrol demi sekrol. Saya nemu akun IG @bidankita yang banyak info tentang VBAC. Banyak banget petunjuk dan tips untuk mempersiapkan VBAC. Beberapa hal yang Saya Highlight dari VBAC agar sukses, yaitu rajin olahraga, jaga asupan makan dengan baik, cari dukungan dokter yg pro VBAC, pilih provider yang mendukung VBAC, dukungan suami sebagai support system, jaga pikiran, dan latih nafas. 

Oke sekarang langsung ke detik-detik menegangkan itu. 
.
Jumat magrib, lendir darah keluar tapi gak ada kontraksi. Lendir darah salah satu pertanda si debay mau keluar. Tapi, Suami masih di luar kota. Rasanya gugup gugup gimanalah... Sebisa mungkin, Saya mencoba untuk tenang. But, I failed. Resah dan gelisah. Semalaman tidur-tidur ayam. 

Sabtu pagi, suami tiba di rumah. Gelombang cinta mulai terasa tapi belum intens. Saya berencana ke Klaten, ke klinik bidan kita untuk induksi alami. Tapi karena kontraksinya terasa menyakitkan, dengan jarak Solo-Klaten, Saya jadi ragu. Takutnya nanti jadi brojol di Klaten. Malah merepotkan banyak orang. *halah...

Memang idealnya untuk VBAC, menghindari induksi obat-obatan. Karena efek terburuk dari induksi obat, jahitan cesar di rahim bisa terbuka lagi. Alias robek. 

Tapi Saya mulai tak kuasa dengan sensasi gelombang cintanya. Akhirnya, Saya ke dokter tempat kami konsultasi, sudah bukaan 2. Posisi janin bagus, ketubannya masih baik, detak jantung bayi juga normal. Kata dokter sih, pulang dulu ke rumah. Agar bukaannya nambah, banyakin jalan kaki dan naik turun tangga sebagai induksi alaminya.

"Masih bisa lahiran normal kan, dok?"
"InsyaAllah bisa," katanya. 
Jadi, Saya pulang ke rumah dengan rasa harap-harap cemas.

Di rumah, gelombang cinta mulai menekan. Mulesnya ini beda sama kakak-kakaknya dulu. Jika anak yang pertama, kontraksinya itu perut terasa kencang. Sangat kencang hingga air ketuban pecah dini. Kemudian, diinduksi melalui infus, yang kabarnya sakit banget. Tapi Alhamdulillah, Saya tak merasakan apapun, namun tiba-tiba ada rasa ingin ngeden ~ tanda kalau bukaan lengkap. Lalu lahirlah si bayi. Sedangkan anak kedua, kontraksinya masih seperti kontraksi palsu dengan posisi lintang.m. Ya, cesar lah. 

Balik ke.... cerita VBAC. Kontraksinya sudah datang tiap tiga menit. Ini sensasi yang baru bagi Saya. Asing dan gak nyaman. Banget. Sensasinya itu kayak mules mulesnya diare. Yang melilit dengan tekanan ke bawah  Amat sangat pengen keluar tapi gak bisa keluar.  Saat ini ni, mulai panik. Pikirannya udah gembrambyang... Takut ini itu pokoknya. Sekuat mungkin Saya berusaha tenang. Tapi gagal. Akibatnya kacau mengatur nafas.

Karena sudah gak kuat nahan sakit, akhirnya jam sepuluh malem tancap ke rumah sakit. Karena VBAC harus dilakukan di rumah sakit. Untuk kewaspadaan saja jika terjadi situasi darurat. 

Sampai di rumah sakit, ternyata masih bukaan 2. Dokter langganan Saya memantau dari telepon. Dan ditunggu hingga jam 6 pagi. 

Fyi, sejak tiba di Rumkit Saya langsung ditempatkan di ruang bersalin. Yang mana gak nyaman lah. 

Setelah dicek VT, masih bukaan 2. Yah, Dokter menyarankan cesar kembali. Solusinya ini bikin semangat Saya drop. Bertentangan dengan ucapannya saat kontrol terakhir, beliau bilang bukaan 2 masih bisa ditunggu hingga 2 hari bila kondisi janin masih kuat. Jadinya Saya tetap ngeyel tetap VBAC. Dokter yang kekeh cesar karena beliau enggan melakukan induksi obat. 

Dan akhirnya saay genting itu, Saya pilih ganti dokter saja. Rupanya hal itu bikin Saya makin cemas. Apalagi dokter penggantinya laki-laki. Fyi, Saya pekewuh diperiksa oleh dokter laki-laki. Tapi dengan pilihan cesar atau dokter laki-laki? Saya pilih dokter laki saja. Menurut info dari bidan di sana, si Bapak Dokter ini orangnya sabar, mau menunggu Ibu bersalin secara normal. Baeklah...

Dokter pengganti memantau dari telpon. Membaca riwayat kehamilan dan kondisi terkini Saya dan bayi. Dokter bersedia menunggu 6 jam ke depan, berharap adanya kemajuan. Sayang, bukaannya tetap sama. Kontraksi pun melemah. Mungkin efek mental dan pikiran yang sudah awut-awutan. 

Akhirnya dokter memberi Saya 1/4 pil untuk memacu kontraksi. Namun hingga 6 jam masih bukaan 2. Diberi lagi 1/4 pil. Yak, efek si pil pemacu mulai terasa. Kontraksinya semakin hebat. Mulesnya menekan kuat, panjang dan lama. Rasa-rasanya jedanya tak sampai 1 menit. Gak cukup waktu Saya mengatur nafas.

Saya dilanda kecemasan, ketakuan dan panik. Buyar sudah si nafas. Menurut Saya di sini pentingnya, mempersiapkan suami  menghadapi persalinan. Dia gak tau harus berbuat apa. Kudu diminta dulu, usap-usap punggung, apa lah. Sampai-sampai males mau ngomong. Wis meneng aelah sambil nahan sakit. 

Tiba masanya VT lagi. Dan, ternyata masih bukaan 2... What??? Rasanya frustasi gak sih? Kontraksi udah aduhai gitu masih bukaan 2. Fiuuh... 
 
Dokter kembali memberi 1/4 lagi pil pemacu. Pil terakhir. Jika masih tak ada kemajuan, maka Cesar kembali. Rasanya sih sudah tak bisa ditahan. Kontraksi tak berjeda lah itu. Saya ambil pil itu, tapi Saya minta untuk nunggu bukaan di kamar rawat saja. 

Di kamar, Saya tiduran, sambil nangis. Merasakan nikmatnya kontraksi yang semakin kuat, hebat, panjang dan tak berjeda. Saya pejamkan mata, diam, dan menikmati kontraksi yang aduhai itu. 

Setiap menarik nafas panjang, Sayang berdoa, "Ya Allah, Saya terima rasa sakit ini. Mohon ampuni segala dosa Saya." Lalu hembuskan nafas perlahan. 

Tiba-tiba, ada rasanya kok seperti mau ngedan. Saya tarik nafas panjang lagi, eeeehh ehhh, kok rasa ngedannya datang lagi. Saya langsung minta suami memanggil suster. Bilang kalau Saya mau mengedan.

Sontak bangsal kebidanan jadi heboh, Bidan-bidan datang tergopoh-gopoh dan menggotong Saya ke ruang bersalin. 

"Jangan ngedan dulu, Bu!" Seru mereka. Saya ambil nafas cepat "Fuh" "Fuh" "Fuh" untuk mengalihkan rasa ingin ngeden. 

Benar saja, bukaan sudah lengkap. Kepala bayi mulai crowning. Mereka bidan-bidan muda itu, panik setengah mati. Apalagi Pak Dokter tidak ada. Lah iya, wong 30 menit lalu baru laporan ke Pak Dokter, masih bukaan 2 og. 
 
Tak lama kemudian, bayi Saya keluar. Laki-laki. Alhamdulillah sehat. 

Si bayi sempat nginap di NICU selama beberapa hari. Saat lahir ketubannya sudah keruh. Ia membiru saat selang oksigen dilepas. Mungkin efek intervensi induksi obat ya. Karena gak hanya Ibu yang kesakitan tapi juga bayinya. Tapi, Alhamdulillah si bayi sehat sekarang.

Esoknya, saat dokter visit, beliau tanya. "Semalam kan terakhir VT, bukaan 2. Kenapa tiba-tiba langsung bukaan lengkap. Ibu ngapain?" 

"Gak ngapa-ngapain. Cuma tiduran aja," jawab Saya yang bengong ngeliat dokter yang baru pertama Saya temui itu. Dokter hanya bertanya dan mengecek kondisi Saya pasca melahirkan. Alhamdulillah sehat semua... Terima kasih ya dok, uda sabar nungguin eh ditinggal brojol duluan. 

Buat Ibu yang pengen VBAC, semangat ya! Dari pengalaman Saya ini, persiapan paling penting adalah jeli memilih provider (dokter dan tempat melahirkan), mantau kondisi kehamilan, latihan atur nafas, tetap tenang, dan ademkan pikiran. Sisanya, serahkan pada Yang Maha kuasa. 








.