Rabu, 18 Desember 2013

Cari Suami, Menikah, Beres?



Iklan sebuah farmasi besar Tem*o Sc*n, agak mengusik hati saya. Dalam iklan itu dinarasikan ada seorang wanita dewasa yang berfikir tentang kesetaraan wanita.

Petikannya begini. Dari kecil hingga dewasa ibu saya selalu menanamkan bahwa jadi wanita itu gak usahlah mengejar karir. Cari suami dan kawin dan ngurus suami dengan benar, beres. Lalu wanita itu melihat bahwa dari 12 pucuk pimpinan Grup perusahaan farmasi tempatnya bekerja, delapan diantaranya adalah wanita. Dan ia pun yakin bahwa dia juga bisa meniru langkah pimpinan wanita tersebut. Bila ada kemauan.

Sampai di sini jelas terlihat iklan tersebut menyiratkan kesetaraan gender dalam perusahaan farmasi tersebut. Bahwa wanita juga bisa mencapai top karir. Bagian itu sih saya setuju namun sayangnya, disiratkan pula ada pengecilan makna. Ingat petikan si Ibu wanita itu: "Cari suami, menikah, urus suami yang benar. Beres." 

Penggalan kutipan itu yang mengganggu saya. Tersinggung sebenarnya. 

Saya salah satu wanita yang memilih meninggalkan karir dan menikah. Jadi Ibu Rumah Tangga Penuh waktu. Wajar kalau tersinggung – pembenaran. 

Hidup adalah pilihan. Sama halnya dengan pernikahan. Menikah atau karir. 

Jika tidak menikah saya akan mendedikasikan hidup saya pada karir. Targetnya top pimpinan, Pemimpin Redaksi atau pemilik Media Massa - profesi saya wartawan kala itu. Hidup pun harus bermanfaat untuk kemaslahatan orang banyak. Itu wajib hukumnya. 

Jika menikah berarti hidup saya akan didedikasikan pada suami dan keluarga. Itu wajib hukumnya.

Dalam perjalanan hidup, keputusan saya adalah menikah. Di tengah karir yang menanjak, saya menjadi seorang ibu. Dilemanya saya bukan wanita multi tasking. Saat di rumah, otak di pekerjaan. Saat di kantor, otak di bayi. Hasilnya keduanya tidak maksimal. Tidak adil untuk bayi dan pekerjaan. Kasian pada bayi saya, pun perusahaan yang membayar jasa saya.

Singkat cerita jadi Full Time Mother. Pekerjaan yang dimulai dari bangun tidur, tanpa libur atau cuti, dilarang sakit, bisa mengerjakan semua kegiatan domestik seperti mencuci pakaian, menyetrika, mencuci piring, menyapu, mengepel, jadi koki, ahli gizi, pengatur keuangan, guru les. Semua hal dilakukan sambil momong anak. Belum lagi menjadi si seksi bagi suami. Komplit! Semua hal dilakukan dengan perasaan dan emosi jiwa. Saat perasaan labil, emosi meninggi, hasilnya langsung terlihat, pekerjaan rumah tidak ada yang beres dan anak rewel. Maaf sedikit curhat.

Kembali ke iklan tadi. Dalam benak saya tentu wanita dalam iklan itu harusnya tidak menikah dan berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi komisaris atau direktur. Skenarionya harus begitu, menikah atau karir. Tidak boleh keduanya. Menurut saya, bila memaksa multi tasking tetap harus memilih ‘pengorbanan’ juga. 

Seperti cerita seorang sabahat. Beliau wanita menikah, Ibu dari dua anak laki-laki yang masih balita, seorang dosen dan ketua fakultas di kampusnya mengajar, seorang mahasiswa pasca sarjana. Sungguh multitasking. Ia bertemu dilema saat seorang anaknya yang masih balita sakit asma akut, ada flek di paru-paru. Bila anaknya sesak nafas, tubuhnya sampai membiru dan segera dilarikan ke rumah sakit. Untuk meringankan sakitnya si anak harus terapi pengobatan dan menjaga asupan makanan si anak. Penguat rasa, pengawet makanan, pewarna sintetik, jadi pencetus utama penyakit tersebut. Dilemanya sahabat saya, bahwa ia tidak bisa mengawasi makanan yang dikonsumsi anaknya ketika ia sedang bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Meski anak dan pengasuhnya sudah diwanti-wanti jangan jajan sembarangan tetap saja kecolongan.

 Suatu hari ia curhat pada saya, “Enaknya dirimu, bisa mengawasi anak-anak penuh di rumah saja. Tidak seperti saya. Stress saya, melihat anak sakit seperti itu sementara pekerjaan tidak bisa ditinggalkan, tesis keteteran. Bila semester ini saya tidak lulus juga beasiswa akan dicabut. Stres tingkat dewa,” 

“Gak sulit kok, siapkan surat resign, tanda tangani, dan jadilah  seperti saya.” Jawab saya.

“Tidak bisa semudah itu dan beres. Saya tidak ingin meninggalkan karir saya di kampus. Banyak sekali kesempatan untuk aktualisasi diri, beasiswa pendidikan sampai post doctoral pun di prioritaskan untuk pengajar. Rugi bila diabaikan begitu saja. Kamu tahu saya dari SMA, apa cita-cita saya,”

“Iya saya kenal baik dirimu sejak SMA. Jika tetap mengejar karir, silakan. Konsekuensinya waktu untuk mendampingi anak-anak berkurang. Tidak bisa mengawasi asupan makan mereka. Melihat anak-anak sakit. Itu bagian dari konsekuensi. Jangan pula memandang saya Ibu Rumah Tangga sebelah mata. Betapa enaknya menjadi saya. Semua pilihan ada pengorbanan. Dirimu memilih karir dan menutup mata saat anak sakit, dan saya memilih keluarga dan menutup bab cita-cita zaman sekolah,” tandas saya.

Balik ke iklan lagi, wanita itu harus lajang seumur hidup atau multi tasking yang berarti menutup mata untuk keluarganya. Tidak seperti kutipan si Ibu wanita dalam iklan, “Pilih suami, menikah dan beres.” Dalam kehidupan ini tidak ada yang ‘Beres’ seperti workshop. Suami work, Istri yang shop –belanja menghabiskan uang suami. Dalam perusahaan itu ada kesetaraan gender pun dalam rumah tangga harus ada kesetaraan gender. Suami dan istri mengerti bagian pekerjaan masing-masing. Bila salah satu butuh bantuan harus dibicarakan, saling memahami, menghilangkan egosentris dalam diri – bagian ini yang sulit.
Bab menghilangkan ego yang paling berat. Jangan tanyakan soal cita-cita, ada 1001 cita-cita dalam angan saya. Cita-cita utama adalah menjadi pemimpin redaksi dan atau pemilik media massa. Media Massa adalah pilar negara yang tak terlihat. Powerfull. Nah, cita-cita ini kuleburkan jadi satu. Diuleni sampai kalis hingga jadi sebuah adonan yang solid. Adonan cita-cita, maksudnya. Campuran cita-cita itu membentuk cita-cita baru yang wujudnya berbeda. Emak-emak sekali cita-cita ini, tapi tidak se'beres' petikan si Ibu dalam iklan itu. 
Mendampingi anak-anak dari mereka membuka mata, menjaga asupan makan dan gizi tubuh, otak dan jiwa mereka. Anak-anak menjadi anak yang sehat, ceria dan berakhlak. Membimbing anak-anak menapaki setiap pertambahan umur dengan bekal yang cukup. Bekal makanan, ilmu dan perkembangan emosi yang baik. Setiap waktu saya belajar ilmu pengasuhan (parenting), ilmu kuliner, jarimatika dan lainnya demi membimbing buah hati. 
Tulisan ini tidak bermaksud membanding-bandingkan. Wanita karir, Ibu bekerja, Ibu Rumah Tangga adalah setara. Tidak ada yang 'lebih' dari pilihan tersebut. Selama para wanita tau konsekuensinya. Kesetaraan gender itu bukan kesempatan yang sama dalam meraih kedudukan dan posisi dalam dunia kerja. Menurut saya, kesetaraan gender itu adalah adanya komunikasi yang baik antar pria dan wanita. Karena umumnya ada perbedaan cara pandang dan pemikiran antara pria dan wanita. 
Balik ke iklan tadi, semoga mbak si bintang iklan itu menjadi top pimpinan ya. Tapi jangan juga meremehkan Ibu Rumah Tangga yang karirnya di rumah saja.