Minggu, 30 Oktober 2022

7 Cara Keluar dari Baby Blues


Belakangan ini kata-kata mengenai kesehatan mental, Anxiety, depresi, Post Partum Depresion (PPD), jadi trending topic. Saya juga tidak paham betul dengan kata-kata itu. Dulu hanya tau sebatas Baby Blues Syndrom, kepribadian ganda-nya Sybil dan Orang Dengan Gangguan Jiwa. Dan Saya merasa yakin bahwa dengan logika, keimanan dan kemampuan berpikir yang baik, gangguan semacam itu berada jauh dari lingkaran kehidupan Saya.

Saya ini tipikal orang yang berpikir realistis, no menye-menye. So, Saya  Pe De banget dong waktu ituu. Saking logisnya dulu, banyak teman-teman yang males curhat. "Lo tu manusia apa bukan sih! Pake hati lo!" Senada gitulah protesnya. Saya pikir mereka aja yang terlalu lebay sih... ngggg.

But, till that moment... Jeng jeng jeng; Being a wife, a mother, daughter and daughter in law in the same time, its not as simple as I thought. Why it took really hard? Padahal, itu 'hanyalah' bagian dari siklus kehidupan manusia normal. Entahlah, nyatanya sejak  pasca melahirkan, Saya yang anti menye-menye ini jadi auto dramaqueen. Jadi kayak pabrik airmata... Ujug-ujug mewek, nangis, mewek-nangis. Sebetulnya Saya juga sebel dengan kecengengan itu.

Segala perasaan haru biru itu makin lengkap tatkala malam tiba. Setiap malam, Saya merasa kedinginan yang amat sangat. Dinginnya hingga menusuk tulang. Ngiluuu. Anehnya, baju yang Saya kenakan justru basah kuyup karena keringat. Kondisi itu berlangsung hampir selama 6 bulan awal kehidupan Saya sebagai Ibu baru.

Then, Saya tuh takut tidur. Pikiran tuh takut bayi Saya tak bernafas. Setiap waktu mengamati dada dan perutnya 'harus' bergerak. Artinya dia bernafas. Setiap lima menit diukur suhu tubuhnya. Saya takut tiba-tiba suhu tubuhnya naik. Anak Saya tak boleh sakit, karena Ibunya sigap. Overthinking.

Saya coba mengeluh kepada orang terdekat. Namun, tak ada yang bisa mengerti saat itu. Bahwa, Saya lah yang terlalu lebay dan manja. "Ingatlah jika semua wanita itu akan jadi Ibu". "Kemudian jadilah Ibu yang baik". "Seperti Ibu-ibu terdahulu, bayi-bayi mereka tumbuh dengan baik, tetap bisa bekerja dan beraktivitas biasa. Gak manja". 

I hate me and myself at that time. 

"Kenapa sih gue?? Bukan gue banget deh!I didnt know what happened. Kemudian... Setelah bertahun-tahun... Saya membaca tentang  gejala depresi di sebuah poster kesehatan dalam ruang tunggu praktek dokter. Which is cocok dengan kondisi yang 'carut marut' itu.

Apakah benar Saya depresi waktu itu? Maybe Yess... Maybe No. Saya gak ke ahlinya saat itu. Perasaan 'lemah' itu berlanjut sampe bertahun-tahun. Kelahiran anak kedua juga menambah buruk keadaaan 'dalem jiwa'. Hiks... 

Sempat merasa malu juga karena merasa kurang iman. Pernah dengar kalo baby blue atau depresi itu penyebabnya karena kurang iman. Saya tingkatkan ibadah, baik wajib maupun sunah. Namun ternyata, perasaan carut marutnya itu masih menyerang. 

Jadi kayaknya bukan karena iman yang kurang juga deh. Lebih kepada kemampuan kita mengelola emosi dan stres. Emosi dan stress itu bagaikan Rolercoster. Apalagi dalam kondisi kelelahan, kelaparan dan kesepian mendengar tangisan bayi itu seperti suara desingan peluru. Suara tangisnya itu  bikin stress. 

But I am healthy now, I hope for sure... Saya berupaya untuk lebih sehat mental dengan cara-cara ini:

1.Confess
    Mengaku bahwa Saya bukan Super Woman. I need help. Mengabaikan omongan orang lain. Dibilang manja, males, cuek aja. Yang penting Saya 'fresh'.

2. Help / Bantuan
    Minta bantuan untuk menjaga dan merawat anak. Atau membereskan urusan rumah.

3. Speak / Ngomong
    Komunikasi dengan orang terdekat, yaitu suami. Suamilah yang harus paling tau tentang kondisi istrinya. Meski kadang-kadang sebel dengan jawaban sok tau suami. Pokoknya keluarkan saja semua kata-kata yang ada di pikiran saat itu. Meski gak bikin lega juga tapi pokoknya dia juga ikut bertanggung jawab. Gak semua wanita sih bisa begini. Apalagi jika kepribadian yang introvert... Tapi yang penting sih, sebagai wanita harus percaya bahwa dirinya 'berdaya'. Dicoba saja...
 
4. Me Time / Waktu sendiri
    Kalau saya mengartikannya dengan hobi. Ternyata emang penting banget punya hobi loh. Bisa jadi penyaluran stres dan tekanan tinggi saat dewasa ini. Saya itu gak punya hobi. Cuma terbiasa nulis karena pekerjaan sebagai wartawan. Jadi kebiasaan itu masih melekat saat sudah mengundurkan diri. Apapun yang Saya rasakan, ditumpahkan lewat tulisan oret-oret. Saya pengen maki-maki gitu, sama "...." (sensor), ditulis oret-oretan. Tulisannya disimpen aja.

5. Skinship 
    Menyentuh anak tanpa penghalang. Saat stress berat, Saya peluk si bayi yang 'naked' saat menyusui. Cara ini memberi rasa cinta yang dalam. I love my baby more... Atau bisa minta suaminya sering-sering menyentuh dengan kasih sayang dan cinta, pastinya. Kegiatan yang efektif untuk menurunkan tensi stress pada wanita.

6. Olahraga
    Slogan "Men sana in corpore sano", di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, itu tepat banget. Bukan hanya atlit yang berolahraga. Kita pun harus olahraga. Saya dulu ketemu teman yang nyari barengan yoga di rumah nya. Waktu ini anak kedua udah 8 tahun. Rutin yoga dua kali seminggu. Dan rasanya ngefek ke tubuh dan hati. Nafas jadi lebih panjang dan dalam. 

7. Relaksasi
    Dengan nafas yang baik, relaksasi ini mudah tercapai. Saat pikiran penat, lakuksn relaksasi maka hati jadi ayem lagi.

Stres pasca lahiran terjadi lagi pada kelahiran anak ketiga. Tapi, dengan bekal pengalaman dan cara mengelola stres dengan baik, Alhamdulilah bisa cepat terkondisikan.
    
Alhamdulillah sekarang ini Saya merasa lebih baik. Jiwa Saya lebih sehat. Lebih mudah tertawa dan gampang merasa bahagia. 

Mungkin cara Saya keluar dari depesi akan berbeda dengan orang lainnya. Karena kita kan memang manusia yang beda. Tapi, dengan mengetahui pengalaman orang lain, setidaknya tidak merasa 'sendiri dan aneh'.

Motherhood is awesome but sometimes drive me crazy.  Semangat sehat jiwa dan raga ya Moms... Love yourself...



     
   







Sabtu, 29 Oktober 2022

Biaya Tak Terduga Nyekolahin Anak

Masa anak mulai sekolah, bagi para orangtua adalah langkah mulai memperhitungkan financial. Soalnya pengeluaran pasti bertambah. Gak cuma buat makan sehari-hari, ongkos hiburan, beli baju dll.

Tapi ada pengeluaran tetap, yaitu SPP anak dan uang pangkal masuk sekolah dll. Besarannya tergantung sekolah yang diincer sih. Beda-beda. 

Mulai dari jenjang TK, SD, sampe perguruan tinggi, silakan diitung dari sekarang deh. Besaran biayanya bisa dikira-kira lah. 

Tapi emak juga harus memperhitungkan pengeluaran tak terduga juga. Terutama masa anak TK dan SD.

Pengeluaran apakah? Yaitu ongkos pergaulan sesemak di sekolah anak. Beh... bisa dibilang ini waktu sesemak ngeksis alias tampil. 

Pengeluaran ini memang tidak terkait secara langsung dengan pendidikan anak. Tapi, buat sesemak yang hobi ngeksis, harus mempertimbangkan ini sih. 

Ini pengalamanku aja waktu dua anak bersekolah di TK dan SD. Anak-anak ku sekolahnya beda-beda. Tapi aura pergaulan sesemaknya sih sama. Di setiap sekolah anak-anakku pasti ada sesemak yang mengelompok dan hobinya "gaul" aka arisan. 

Arisan emak macan ternak ini juga berdampak pada pergaulan anak ternyata. Biasanya, anak-anak dari emak2 ini akan munculin pengelompokan juga. Macam ada geng emak, bikin cabang geng anak2 nya mereka itu. Nah, yang bukan circle mereka udah dicuekin aja. 

Dari sini juga lah sumbernya si pengeluaran tak terduga itu. Tapi tergantung juga seberapa kuat mental si emaknya. Ikut arus eksistensi atau cuek jadi diri sendiri.

Untuk si emak yang ngikut arus ini, yang menciptakan "biaya tak terduga" itu. Contoh kecilnya, setiap arisan ada dress code. Alasannya, biar cantik pas difoto. Ya kan? Ya kalo cuma sebatas, dc: nuansa tosca. Terserah mau jilbabnya, baju atau celananya. Pokoke tosca. Kalo gini nih enak, disesuaikan saja dengan yang dimiliki. Yang penting ada tosca2 nya. 

Tapi, kalo dresscodenya itu udah kudu 'seragam' batik motif ini, lurik motif itu. Atau kudu merk ini. Apabila gak ada, ya harus ada. Beli lah Mak.... Gini nih awal mulanya. 

Ada yang santai ngikutin pergaulan. Ada juga yang memaksakan diri bergaul. Akhirnya sampe ngutang-ngutang demi "seragam". Biar eksis dan gak dirasani di belakang nanti.

Meski udah ngeksis juga, gak luput dirasani ya. Ada aja lah topiknya. Penampilan sesemak, anak, ekonomi keluarga, rumahnya, kendaraannya, hapenya. Wah, macem2 lah. 

Gak aneh sih sebenarnya. Memang lingkungan kita tuh ya kayak gini. Ada aja yang dirasani seolah diri ini paling oke. 

Pergaulan emak-emak ngeksis akan mulai berkurang saat anak di SMP nanti. Ya, karena anak udah mulai pengen mandiri kan. Jadi, gak mau dibuntuti Emak lagi. Kayak anak mbarepku sekarang yang udah SMP. Giliran anaknya yang pengen eksis, ya kan? Damai bener Emak, gak ada yang ngerasani lagi.











Selasa, 25 Oktober 2022

Hukum Permintaan Ikan Patin di Solo

26 Maret 2022

Hari ini tuh bahagiaku receh banget.  Cuma ngeliat ikan patin hidup dan berenang-renang di Pasar Ikan Gedongan, Colomadu. Setelah 14 tahun tinggal di Solo, bisa membeli ikan patin seger tur isih urip, rasanya sueneng banget.

Dulu sekitar 2008, Saya baru pindah ke Solo, rodok susah nyari ikan patin. Kalau pun ada ya di Pasar Gede atau Kadipolo. Ikan patinnya yang jenis patin hitam. Ikannya udah mati, insangnya hitam. Kondisinya sudah gak segar lagi. Pengaruh ke hasil masakan juga, amis dan agak pahit. Nek menurut lidah Saya (lidah wong Palembang) loh. Sebaliknya, Mas Suami sih gak ngerasa apa-apa. Enak-enak aja katanya.

Kebiasaan Ibu Saya dulu di Palembang, syarat agar masakan pindang (Sop) Patin itu enak adalah ikannya. Harus yang masih hidup dan berjenis patin merah. Boleh patin hitam tapi yang liar di sungai, bukan dari tambak. Kalo hasil tambak itu, ikannya terasa agak-agak ada aroma lumpur / tanah. 

Standar itu jadi semacam kunci. Akibatnya syulit mendapatkan ikan dengan kualitas grade A itu. Mending gak makan pindang patin deh klo gak ada patin grade A itu. 

Tapi keadaan ini berangsur berubah. Sejak 2018 kayaknya, ikan patin gak susah lagi ditemukan. Banyak lah yang jual ikan patin. Gak harus ke Pasar besar lagi. Dan, ikan patinnya sudah ada yang jenis patin merah. Dalam keadaan hidup juga. Catet! Senang sekali hatiku, bisa masak Sop Patin yang paripurna. Lengkap dengan teronf ijo bulat dan kemangi. Ditambah sambal nanas. Nikmat banget.... 

Meski pun begitu, Saya rekomen nya beli patin di Pasar Kleco atau Pasar Gedongan. Untuk Ikan patin merah dan segar. 

Terselip pertanyaan juga, kok sekarang banyak yang jual patin ya. Apalagi ada ptin merah dan hidup. Hukum ekonominya, apabila demandnya tinggi maka supply nya pun mengikuti. Apakah Solo semakin banyak warga dari Sumatera atau daerah yang suka ikan-ikanan? Soalnya keluarga Suami yang asli Solo gak doyan ikan. Paling mung lele sama kakap janti (Nila), yang doyan. 

Padahal Ikan Patin tuh enak. Segar dan bergizi. Dimasak Pindang (Sop) nih segar. Apalagi pas gak enak badan... Kalo gak suka aroma amisnya. Perhatikan cara membersihkan ikannya. 

Tip:
1. Saat membersihkan ikan harus hati-hati. Jangan sampai empedu ikan pecah. Ikannya akan pahit kalo kena empedu. Empedu itu yang warnanya hijau.
2. Buang isi perut ikan.
3. Buang insang ikan. 
4. Kucurkan jeruk nipis dan garam selama 10 menit. Atau air larutan cuka dapur. Terus bilas lagi.
5. Marinasi dengan bawang merah,bawang putih, kunyit, jahe, laos. Semua diiris tipis. Juga garam. Diamkan selama 30 menit.
6. Rebur air sampai mendidih, masukan Salam, serai digecek, air asem jawa. Trus masukan ikan serta bumbu marinasinya. 
7. Cek rasa. Tambahkan kecap asin, gula da  garam, terong bulat. Terakhir kemangi.

Bahagiaku recehnya... Yuk makan Pindang Patin Palembang. 





Jumat, 24 Desember 2021

Nikah atau Jomblo Forever?

Menikah atau tidak ya?

Isu ini kok ya asik aja buat dibahas. Aku - maksudnya yang pengen bahas. Tergelitik dari berita yang kubaca, "Nicholas Sean Tidak akan Menikah" -DetikHot. 

Kenapa? Salah satu alasannya karena sulit mengontrol hal lain dari luar. Lebih mudah mengontrol diri sendiri, daripada orang lain (mis: pasangan dan keluarga besarnya, anak-anak dll). 

Memang betul ya yang dipikirin putranya Pak Ahok (mantan gubernur DKI) ini. Kalo di rumah tangga itu ada aja dinamikanya. Ciyeee dinamika... Pasangan udah oke nih, eh ada aja masalah dari keluarganya. Atau anak-anak yang dinamis sekaleee. 

Aku juga sempet mikir kayak dia. Tapi beda alesannya. Kalo aku tu alesannya karena menikahkan adalah pilihan  alias sunah alias gak wajib. Jika pun gak menikah, juga gak papa, selama kita menjalani hidup dengan bermanfaat. Ya, gak menyesali diri karena beranggapan diri 'gak laku'.

Tapi pemikiran ini pasti ditentang orangtua lah. Iya lah yaaaa... Karena, menurut pandangan (entah pandangan siapa), tugasnya orangtua itu selesai jika anaknya sudah menikah. Kalo misal belom ya berarti tugas orangtua belom selesai.

Termasuk Ibuku mikirnya kayak gitu. Jadi, aku harus menikah. "Jika, anaknya bisa mandiri dan gak jadi beban keluarga, bukannya tugas orangtua juga selesai?" Kataku pada Ibuk.

"Gak gitu, yooo... Kalo anak gadis gak nikah- nikah, tanggung jawab atasmu ada di pundak Bapakmu. Kalo udah nikah, beralih ke suami."

Singkatnya, Aku manut untuk menikah. Dengan laki-laki pilihanku. Minimal tugas Bapakku selesai... 

Dan, memang drama rumahtangga itu ada-ada aja. Baik dari diri kita sendiri, pasangan, orangtua sampai lingkaran luar. Ngaduk-aduk perasaan. Ya, seperti yang dibilang Nicholas itu. Sulit dikontrol. Tapi itulah seninya kehidupan... Canda seniii. Minimal orang sudah menikah itu sudah jadi survivor sejati. Gak perlu lagi nyari tantangan uji nyali atau uji adrenalin. 

Jadi gimana ini, menikah atau tidak? Wis lah apapun pilihannya yang terpenting itu keputusanmu sendiri. Jangan menikah karena 'terpaksa'. Atau tidak menikah karena 'gak laku'. Kamu harus menghargai dirimu sendiri. 

Kamis, 25 November 2021

Pansos Itu Positif

Pansos atau panjat sosial. Bahasa inggrisnya adalah social climbing. Bagi saya generasi kelahiran 80, sebutan ini termasuk baru. Saya pikir, wah kata baru lagi nih semacam bahas gaul jaman ini. Ya, kayak jaman 90an sampe Debby Sahertian (artis 90an) bikin kamus bahasa gaul. 

Waktu Saya nemenin anak sulung Saya belajar IPS (sekolah di rumah jaman pandemi), ternyata itu bahasa baku loh. Termasuk dalam materi pemahasan mapel IPS Semester 1, Sub Bab Mobilitas Sosial. 

Singkatnya dalam pemahaman Saya, mobilitas sosial adalah perpindahan (pergerakan) status sosial seseorang. Ada yang bergerak naik dan ada yang turun. Salah satu perubahan status sosial ini, adalah social climbing atau panjat sosial. Panjat sosial di sini konotasinya positif. Artinya perubahan status sosial itu berubah 'naik'. Misalnya pengaruh dari struktural jabatan. Seperti guru lalu naik jabatan menjadi kepala sekolah. 

Padahal Social Climbing yang Saya pahami dari Sosial Media, konotasinya negatif. Ya, seperti adanya istilah BPJS (Bujet Pas-pasan Jiwa Sosialita). Atau, Maksain diri gitu.

Jadi, yuk mari ah kita pansos. 

Rabu, 03 November 2021

Pengucilan Juga Bullying

Bully atau perundungan.

Siapa sih yang mau anaknya dibully? Jangankan dibully, anaknya dimarahin Bapaknya atau neneknya aja, Aku bisa baper. 

Jadi tuh anak mbarep cerita tentang pengalamannya di SD. Katanya waktu dia kelas 6 jadi masa tersedihnya. Intinya, dia merasa dikucilkan. 

Aku pernah notice waktu jamannya dia sekolah kelas 6. Mereka ada proyek akhir, berkelompok. Nah untuk memudahkan komunikasi dibentuklah grup wa kelompok mereka. Proyek ini berlangsung kira2 4 bulanan. Mulai perencanaan, riset sampai eksibisi (pameran).

 Suatu hari anak Saya selalu ketinggalan informasi mengenai kegiatan kelompoknya. Ternyata dia dikeluarkan dari grup wa nya itu. Karena di grup itu ada Ustad (guru) pembimbing, Saya menghubunginya, agar membantu si mbarep.

 Ternyata sampe akhir kerja kelompok, dia tidak kunjung dimasukkan lagi ke grup itu. Si anak mbarep merasa cuek karena dia minta tolong ke teman sesama kelompok. 

Agak aneh kurasa kalo si Ustad itu mendiamkan hal itu. Tapi ya, kubiarkan saja. Namun kucoba sharing dengan wali kelas. Nah, menurut wali kelasnya anak Saya yang anti sosial. Dia selalu menghabiskan waktu di book corner (Dalam kelasnya ada pojok membaca). 

Akibatnya dia asik dengn duniamya sendiri. Wali kelasnya menghilangkan book corner agak anak Saya nge blend. Dan, katanya berhasil. 

Dan saat semester kedua sampai kelulusan SD, dia dikeluarkan dari grup kelas nya yang mana ada Wali kelasnya di sana. Dan, tak ada upaya dari Ustadzahnya untuk bertanya. Heh?

The other side... 
Saya konfirmasi kata Ust, kalo dia senang menyendiri. Eh, alasannya ternyata dia capek selalu diejek. Salah satunyakarena gak punya hape sendiri. Dia selalu pake hape Saya (Saya komit untuk tidak memberikan hape sebelum usia 13 tahun). 

Saya nanya dong, teman2mu ngejeknya pas gak ada Ust, ya? Enggak kok. Malah Ust liat mereka ejek2 aku. Tapi Ust diem aja. Katanya masa SD nya gak bahagia karena gak punya teman. 

Aku speechless mendengarnya. Karena, udah gak bisa konfirmasi ke Ust nya langsung. Lah wong anaknya udah lanjut SMP. Ah, gak guna juga. 

Seandainya aku bisa sampaikan, Aku cuma mau bilang ke Ustny, kalo Bully itu bukan cuma Bully secara fisik dan verbal saja. Tapi pengucilan itu juga termasuk bullying. Jika ada anak yang terlihat 'anti sosial', jangan langsung dijudge anti sosial dan dipaks nge blend. Karena lingkungannya itu yang mengucilkannya. 

Tulisan ini hanya ungkapan kekecewaan Saya saja. Karena Saya pikir sekolah itu memang tidak ada diskriminasi (apalagi bully). Yaaah, Saya akui tergiur gitu deh dengan sekolah tanpa diskriminasi-nya itu. Minimal, jika ada peristiwa perundungan, sekolah bisa bertindak dengan baik. 

Hey me! Gak ada itu sekolah tanpa diskriminasi. Apalagi sekolah tanpa bully. Bagaikan pungguk merindukan bulan aja lah Aku ini. 

Jadi sebelum anaknya daftar ke sekolah, kuat2 in mental ya Mamah2. Cari info cara menguatkan anak menghadapi bullying. 







T

Minggu, 20 Juni 2021

Sepenggal Cerita Tentang VBAC

Pengen cerita tentang VBAC (Vagina Birth After Cesarian), anak ketiga ini ~ lahir akhir febuari 2021 lalu. VBAC adalah melahirkan normal setelah cesar. Sembilan tahun lalu Saya melahirkan anak kedua, secara Cesar. Posisi bayi yang melintang, adalah alasannya. 

So, dengan kondisi kehamilan yang sekarang ini. Posisi janin yang baik, maka kata dokter kandungan yang rutin Saya datangi, Saya bisa melahirkan secara normal atau VBAC. Kemudian....

Mulailah Saya berseluncur cari informasi mengenai VBAC. Dan ketemulah dengan konsep gentle birth. Hal pokok yang Saya pahami, gentle birth itu adalah bagaimana wanita bisa melahirkan dengan nyaman, tenang dan minim trauma. 

Minim trauma ini penting buat Saya. Kenapa? Karena Saya trauma saat dua kelahiran sebelumnya. Bukan saat melahirkan tapi saat momong aka babyblues (ppd). Kebetulan melahirkan secara cesar itu setelahnya bikin banyak drama dalam kehidupan. Jadi Saya pikir kalau Saya bisa melahirkan secara normal, maka proses pemulihannya lebih cepat (pengalaman Saya begitu). Sehingga stamina Saya cukup untuk memulai hidup sebagai Ibu baru anak tiga. *eng....

Searching punya searching, sekrol demi sekrol. Saya nemu akun IG @bidankita yang banyak info tentang VBAC. Banyak banget petunjuk dan tips untuk mempersiapkan VBAC. Beberapa hal yang Saya Highlight dari VBAC agar sukses, yaitu rajin olahraga, jaga asupan makan dengan baik, cari dukungan dokter yg pro VBAC, pilih provider yang mendukung VBAC, dukungan suami sebagai support system, jaga pikiran, dan latih nafas. 

Oke sekarang langsung ke detik-detik menegangkan itu. 
.
Jumat magrib, lendir darah keluar tapi gak ada kontraksi. Lendir darah salah satu pertanda si debay mau keluar. Tapi, Suami masih di luar kota. Rasanya gugup gugup gimanalah... Sebisa mungkin, Saya mencoba untuk tenang. But, I failed. Resah dan gelisah. Semalaman tidur-tidur ayam. 

Sabtu pagi, suami tiba di rumah. Gelombang cinta mulai terasa tapi belum intens. Saya berencana ke Klaten, ke klinik bidan kita untuk induksi alami. Tapi karena kontraksinya terasa menyakitkan, dengan jarak Solo-Klaten, Saya jadi ragu. Takutnya nanti jadi brojol di Klaten. Malah merepotkan banyak orang. *halah...

Memang idealnya untuk VBAC, menghindari induksi obat-obatan. Karena efek terburuk dari induksi obat, jahitan cesar di rahim bisa terbuka lagi. Alias robek. 

Tapi Saya mulai tak kuasa dengan sensasi gelombang cintanya. Akhirnya, Saya ke dokter tempat kami konsultasi, sudah bukaan 2. Posisi janin bagus, ketubannya masih baik, detak jantung bayi juga normal. Kata dokter sih, pulang dulu ke rumah. Agar bukaannya nambah, banyakin jalan kaki dan naik turun tangga sebagai induksi alaminya.

"Masih bisa lahiran normal kan, dok?"
"InsyaAllah bisa," katanya. 
Jadi, Saya pulang ke rumah dengan rasa harap-harap cemas.

Di rumah, gelombang cinta mulai menekan. Mulesnya ini beda sama kakak-kakaknya dulu. Jika anak yang pertama, kontraksinya itu perut terasa kencang. Sangat kencang hingga air ketuban pecah dini. Kemudian, diinduksi melalui infus, yang kabarnya sakit banget. Tapi Alhamdulillah, Saya tak merasakan apapun, namun tiba-tiba ada rasa ingin ngeden ~ tanda kalau bukaan lengkap. Lalu lahirlah si bayi. Sedangkan anak kedua, kontraksinya masih seperti kontraksi palsu dengan posisi lintang.m. Ya, cesar lah. 

Balik ke.... cerita VBAC. Kontraksinya sudah datang tiap tiga menit. Ini sensasi yang baru bagi Saya. Asing dan gak nyaman. Banget. Sensasinya itu kayak mules mulesnya diare. Yang melilit dengan tekanan ke bawah  Amat sangat pengen keluar tapi gak bisa keluar.  Saat ini ni, mulai panik. Pikirannya udah gembrambyang... Takut ini itu pokoknya. Sekuat mungkin Saya berusaha tenang. Tapi gagal. Akibatnya kacau mengatur nafas.

Karena sudah gak kuat nahan sakit, akhirnya jam sepuluh malem tancap ke rumah sakit. Karena VBAC harus dilakukan di rumah sakit. Untuk kewaspadaan saja jika terjadi situasi darurat. 

Sampai di rumah sakit, ternyata masih bukaan 2. Dokter langganan Saya memantau dari telepon. Dan ditunggu hingga jam 6 pagi. 

Fyi, sejak tiba di Rumkit Saya langsung ditempatkan di ruang bersalin. Yang mana gak nyaman lah. 

Setelah dicek VT, masih bukaan 2. Yah, Dokter menyarankan cesar kembali. Solusinya ini bikin semangat Saya drop. Bertentangan dengan ucapannya saat kontrol terakhir, beliau bilang bukaan 2 masih bisa ditunggu hingga 2 hari bila kondisi janin masih kuat. Jadinya Saya tetap ngeyel tetap VBAC. Dokter yang kekeh cesar karena beliau enggan melakukan induksi obat. 

Dan akhirnya saay genting itu, Saya pilih ganti dokter saja. Rupanya hal itu bikin Saya makin cemas. Apalagi dokter penggantinya laki-laki. Fyi, Saya pekewuh diperiksa oleh dokter laki-laki. Tapi dengan pilihan cesar atau dokter laki-laki? Saya pilih dokter laki saja. Menurut info dari bidan di sana, si Bapak Dokter ini orangnya sabar, mau menunggu Ibu bersalin secara normal. Baeklah...

Dokter pengganti memantau dari telpon. Membaca riwayat kehamilan dan kondisi terkini Saya dan bayi. Dokter bersedia menunggu 6 jam ke depan, berharap adanya kemajuan. Sayang, bukaannya tetap sama. Kontraksi pun melemah. Mungkin efek mental dan pikiran yang sudah awut-awutan. 

Akhirnya dokter memberi Saya 1/4 pil untuk memacu kontraksi. Namun hingga 6 jam masih bukaan 2. Diberi lagi 1/4 pil. Yak, efek si pil pemacu mulai terasa. Kontraksinya semakin hebat. Mulesnya menekan kuat, panjang dan lama. Rasa-rasanya jedanya tak sampai 1 menit. Gak cukup waktu Saya mengatur nafas.

Saya dilanda kecemasan, ketakuan dan panik. Buyar sudah si nafas. Menurut Saya di sini pentingnya, mempersiapkan suami  menghadapi persalinan. Dia gak tau harus berbuat apa. Kudu diminta dulu, usap-usap punggung, apa lah. Sampai-sampai males mau ngomong. Wis meneng aelah sambil nahan sakit. 

Tiba masanya VT lagi. Dan, ternyata masih bukaan 2... What??? Rasanya frustasi gak sih? Kontraksi udah aduhai gitu masih bukaan 2. Fiuuh... 
 
Dokter kembali memberi 1/4 lagi pil pemacu. Pil terakhir. Jika masih tak ada kemajuan, maka Cesar kembali. Rasanya sih sudah tak bisa ditahan. Kontraksi tak berjeda lah itu. Saya ambil pil itu, tapi Saya minta untuk nunggu bukaan di kamar rawat saja. 

Di kamar, Saya tiduran, sambil nangis. Merasakan nikmatnya kontraksi yang semakin kuat, hebat, panjang dan tak berjeda. Saya pejamkan mata, diam, dan menikmati kontraksi yang aduhai itu. 

Setiap menarik nafas panjang, Sayang berdoa, "Ya Allah, Saya terima rasa sakit ini. Mohon ampuni segala dosa Saya." Lalu hembuskan nafas perlahan. 

Tiba-tiba, ada rasanya kok seperti mau ngedan. Saya tarik nafas panjang lagi, eeeehh ehhh, kok rasa ngedannya datang lagi. Saya langsung minta suami memanggil suster. Bilang kalau Saya mau mengedan.

Sontak bangsal kebidanan jadi heboh, Bidan-bidan datang tergopoh-gopoh dan menggotong Saya ke ruang bersalin. 

"Jangan ngedan dulu, Bu!" Seru mereka. Saya ambil nafas cepat "Fuh" "Fuh" "Fuh" untuk mengalihkan rasa ingin ngeden. 

Benar saja, bukaan sudah lengkap. Kepala bayi mulai crowning. Mereka bidan-bidan muda itu, panik setengah mati. Apalagi Pak Dokter tidak ada. Lah iya, wong 30 menit lalu baru laporan ke Pak Dokter, masih bukaan 2 og. 
 
Tak lama kemudian, bayi Saya keluar. Laki-laki. Alhamdulillah sehat. 

Si bayi sempat nginap di NICU selama beberapa hari. Saat lahir ketubannya sudah keruh. Ia membiru saat selang oksigen dilepas. Mungkin efek intervensi induksi obat ya. Karena gak hanya Ibu yang kesakitan tapi juga bayinya. Tapi, Alhamdulillah si bayi sehat sekarang.

Esoknya, saat dokter visit, beliau tanya. "Semalam kan terakhir VT, bukaan 2. Kenapa tiba-tiba langsung bukaan lengkap. Ibu ngapain?" 

"Gak ngapa-ngapain. Cuma tiduran aja," jawab Saya yang bengong ngeliat dokter yang baru pertama Saya temui itu. Dokter hanya bertanya dan mengecek kondisi Saya pasca melahirkan. Alhamdulillah sehat semua... Terima kasih ya dok, uda sabar nungguin eh ditinggal brojol duluan. 

Buat Ibu yang pengen VBAC, semangat ya! Dari pengalaman Saya ini, persiapan paling penting adalah jeli memilih provider (dokter dan tempat melahirkan), mantau kondisi kehamilan, latihan atur nafas, tetap tenang, dan ademkan pikiran. Sisanya, serahkan pada Yang Maha kuasa. 








.