Rabu, 29 Oktober 2014

Cara Si Sulung Ajari Ibunya Masak

29 OKtober 2014

Satu cerita lagi tentang si Sulung. Anak sholeh satu ini memang setia mengajar ibunya tanpa bosan dan lelah. Awal ceritanya begini, Si Sulung ini kerap menderita batuk dan sesak nafas akibat produksi lendir berlebih. Awalnya, saya berfikir batuk adalah hal yang biasa. Tapi kalau melihat batuknya yang marathon sampai dia tersengal-sengal dan muntah-muntah. Melihat dia tidak bisa tidur karena sesak nafas itu adalah siksaan bagi saya.

Batuknya baru sembuh dengan antibiotik dari dokter spesialis anak. Saya anti antibiotik sebenarnya. Namun apa mau dinyana, setelah berupaya dengan obatan tradisional tidak kunjung membaik, ya harus manut dengan antibiotiknya dokter. Itupun, batuknya benar-benar hilang dalam waktu dua minggu-an. Selang seminggu kemudian, dia pun batuk lagi.

Saya berupaya sekuat tenaga mendongkrak daya tahan tubuhnya dengan vitamin dan madu sertai makanan lbernutrisi. Tapi juga harus menyerah dengan batuk lagi. Batuk masih saja mengakrabinya. Satu bulan dua kali, rutin. Sampai suatu hari saya berkunjung ke dokter spesialis anak yang lain dari biasanya.

Dokter menyatakan bahwa anak saya menderita batuk alergi. Alergi ini disebabkan oleh makanan yang mengandung moto (penyedap rasa). Bukan hanya penyedap rasa saja, juga produk turunannya yang mengandung monotarium glutamat atau MSG. Dia juga sensitif dengan perasa buatan.
Nah, untuk bumbu penyedap rasa ini yang agak ‘berat’. Karena sejujurnya saya terlena dengan cara memasak praktis, pakai yang instan-instan. Bumbu sop instan, bumbu soto instan, bumbu rawon instan, bumbu opor instan, tepung bumbu ayam goreng instan, dan banyak bumbu-bumbu instan lainnya. Kepraktisannya itu yang membuat saya cinta mati. Cukup rebus dagingnya, lalu masukkan satu bungkus bumbu instan dan ‘tarrraaaa’ jadilah soto daging instan segar.

Belum lagi kalau lagi gak enak badan, gak mood masak, gak mood ngapa-ngapain, beli saja di rumah makan ‘puk we’ yang murah meriah. Dan yang teramat sangat pasti, semua makanan (sampai sambel pun) mengandung moto. Ayam goreng K*C, MC*, juga terindikasi mengandung moto. Hampir tidak ada pedagang makanan yang tidak menggunakan bumbu ajaib satu ini tentu dengan takaran berbeda. Ada banyak banget ada yang sedikit. “Kalau gak pakai moto, apa enak, bu?” tukas sang pedagang apabila saya menanyakan perihal kehadiran moto di masakannya. Hikhikhiks.

Sungguh Si Sulung mengajari ibunya untuk selalu rajin masak (Gak boleh moody) dan kreatif memasak. Si Sulung enggan makan kalau menunya itu-itu saja. Alamak, ibunya ini bukan chef Farah Quin. Mulai deh cari-cari resep masakan tradisional dari Mbah google, Mbah Uti, Eyang Uti dan mbah-mbah lainnya. Coba-coba masak ini itu pakai brambang-bawang, salam, legnkuas, ketumbar, kemuri, kunyit dan kawan-kawan, tanpa moto pastinya. Menu sarapan, makan siang dan makan malam yang selalu berbeda. Belum lagi dengan cemilan anak-anak. Hoaaammmmmm...

Begitulah cara Si Sulung mengajari Ibunya. Dari nol besar sampai ada nilainya; bila anak-anak bilang, “Masakan Ibu Enak!” sambil ngacungin jempolnya. Dan batuk pun mulai jarang mengunjungi. 

NB: Terimakasih anak-anakku sayang...






Rabu, 15 Oktober 2014

Framing, Oleh-oleh Pilpres


Pemilihan presiden 2014 memang sudah selesai. Tapi kondisi perpolitikan masih berlangsung 'panas'. Saya gak ngurusin politik-politik itu. Banyak yang lebih ahli. Hal paling menarik buat saya adalah pilpres kali ini memberikan pendidikan jurnalistik bagi seluruh bangsa Indonesia. 

Hampir semua rakyat Indonesia tau tivi 'Merah' pendukung siapa dan tivi 'Biru' pendukung siapa. Ibu saya (65 tahun) saja paham. Jikalau mau nonton tentang capres dari Garuda Merah nonton saja yang 'Merah', kalau nonton capres dari Banteng Moncong Putih nonton saja di tivi Biru. Masing-masing pendukung jangan sampai tertukar tivi karena bisa bikin hati panas. Hal yang sama juga dilakukan media cetak, apalagi media online. Demikian telanjangnya mereka sampai masyarakat umum tahu arah keberpihakan mereka tanpa penelitian ilmiah.

Sebelumnya, saat saya mahasiswa Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, butuh penelitian ilmiah dengan metode yang tepat untuk mengetahui ideologi dan keberpihakan media. Media massa medio 1990-2000 (di bawah itu terlalu jauh jaraknya), media bermain sangat cantik. Perannya sebagai ‘The Watch Dog’ sangat garang mengawal pemerintahan. Dari aturan baku ‘Cover Both Side’ dalam setiap pemberitaannya mampu meyakinkan rakyat bahwa media massa sebagai ‘Pilar Demokrasi’ yang terpercaya. Media massa boleh beropini di pojok tertentu seperti Tajuk Rencana atau Opini Media. Berita-beritanya, harus netral!

Pada zaman dahulu (saat saya mahasiswa), tidak mudah meneliti ideologi media dari segi pemberitaannya ini. Bahkan rumusan masalah penelitian saya ditolak beberapa media. Karena hipotesa sementara adalah ideologi media massa dikuasai kepentingan pemilik modal, ada smuggling, penyusupan nilai-nilai barat dalam konteks beritanya. Untuk menyimpulkannya tentu harus dibuktikan dengan ilmiah, ya.

Salah satu alat pembuktiannya dengan metode framing yang bersifat kualitatif. Framing yang artinya bingkai adalah cara pandang suatu media dalam melihat suatu kejadian/peristiwa.

Logikanya, ketika kita melihat sebuah rumah, mata kita hanya melihat sebagai rumah saja, dari depan kah, dari sisi kanan atau kiri, sisi atas, bahkan dari bagian bawah rumah. Sebagian pandangan ‘frame’ itulah yang disajikan ke orang lain. Ini tidak terkait benar dan salah. Hanya sudut pandang. Kalau bicara makanan, ini soal selera.

‘Frame’ yang digunakan media sebagai sudut pandang ini dibentuk menggunakan ‘resep’ yang dibuat si koki yakni reporter, editor, sidang redaksi dan kepentingan (baca:pemilik modal). Untuk membedah ‘resep’ pembuatan berita itu, beberapa pakar komunikasi Murray Edelman, Robert N Entman, Willian A. Gamson, Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki mengeluarkan pemikiran. Singkatnya, menurut mereka, suatu peristiwa yang diramu jadi berita melewati proses seleksi, pemilihan kata, kalimat, wacana, informasi yang ditonjolkan, melalui sumber berita, foto. Semuanya dibangun untuk mengarahkan khalayak pada persepsi (pandangan) yang sama dengan media.

Saat pilpres kemarin, media massa seolah berlomba-lomba mengajarkan tentang keberpihakannya (framing). Media membangun kejadian/peristiwa menuruti ‘resep’ keberpihakan mereka. Sering juga lupa pada prinsip cover both side, pemilihan kata dan kalimat, foto, gambar, narasumber juga disesuaikan dengan kepentingan media (baca: pemilik modal). Mereka menggiring khalayak menyetujui pandangannya.

Gamblang, tampak jelas keberpihakannya ke ‘Ini’, yang satu ke ‘ono’ yang ntu ke ‘situ’. Makanya, ibu, bude, bulek, teman-teman yang bukan pekerja media bahkan tukang becak langganan saya juga tahu tentang keberpihakan media ini. “Saya gak mau nonton tivi ‘Merah”, bikin panas hati saja. Kerjaannya jelek-jelekin melulu,” kata ibu yang berpihak pada capres si Banteng Moncong Putih. “Saya juga gak mau nonton tivi ‘Biru’, anti saya,” kata tante yang memihak capres si Garuda Merah.

Andaikan saya ingin meneliti ideologi dan keberpihakannya media saat ini. Mungkin gak perlu surat pengajuan izin penelitian. Atau gak usah diteliti, lha wong mereka udah buka-bukaan. Sesuatu yang diumbar sudah bukan misteri yang bikin penasaran. BASI.


NB: Tulisan ini sebagai keprihatinan saya dengan kondisi jurnalisme media massa saat ini. Kembalilah menjadi ‘Pilar Demokrasi’ bagi rakyat. Jadilah ‘The Watch Dog’. Semoga suatu saat ada media massa yang independen dan digerakkan hati nurani. Kembali.









Kamis, 09 Oktober 2014

Komitmen, Homitmen, harus Komitmen!


Berat badan (BB) adalah masalah yang penting buat saya dan banyak sahabat wanita lain. BB ini jadi isu prioritas saat naik ke mesin timbangan. Naik 1 atau 2 kilogram sudah waspada terhadap panganan sedap. Apalagi naikinys 3 kilogram, siaga satu! Makanan lezat nan berlemak langsung jadi musuh.

Masalah per 'BB'an ini sering jadi obrolan hangat kami, para wanita. Sehangat isu politik KMP Vs KIH. Sama serunya. Mulai dari cara diet, jenis diet, penyebab kegemukan dan banyak hal lagi. Bahkan ada yang memutuskan jadi vegetarian demi BB ideal. Harus ideal.

@ Cara menghitung berat badan yang ideal menggunakan Rumus:  Berat ideal tubuh = (tinggi badan seseorang – 100) x 90%.
Sebagai Contoh penyelesaian kasus: jika anda adalah seseorang dengan tinggi postur tubuh 155 cm, maka berat badan anda dapat dihitung sbb:
Berat ideal = (155-100) X 90%
Selesaikan dalam kurung dahulu: 155-100 = 55
Lalu hasilnya adalah 55 x 90%= 49,50
jadi berat badan ideal anda adalah 49,50 kg. 

- See more at: http://trik-tips-sehat.blogspot.com/2013/10/rumus-cara-menghitung-berat-badan-ideal.html#sthash.gjZZpHNY.dpuf

Dengan acuan berat badan ideal dari rumus itu, maka saya patuh dan disiplin pada timbangan. Untuk menjaga idealitas (gaya Vicky Prasetyonya ekx Zaskia gothik), butuh komitmen tinggi. Tidak mudah memang menahan nafsu godaan hidangan lezat santap. Apalagi pempek, tekwan, mie celor, pempek lenggang, pempek panggang, martabak har, martabak bangka, ehhhhh,...... Meski pun pak Bondan Winarno pernah berkata pempek ini rendah lemak jadi sia-sia tak bermakna bila 20 pempek tandas sekali kunyah (Maaf hiperbolis).

Kalau komitmen kendur, tentu timbangan akan jadi musuh abadi. "Aku tidak pernah makan nasi. Tapi kenapa masih 80 kg aja," keluh seorang kakak tersayang. Lha wong pengganti nasinya, mie celor satu porsi, dengan makanan pembuka, pempek 10, makanan penutup kue srikayo 5 mangkok dan es kacang merah semangkuk besar. Kalori seporsi nasi juga 'lewat' dibanding makanan penggantinya. 

"Mba harus komitmen untuk menjaga nafsu makan. Makan nasi 5 sendok makan saja. lauknya satu potong daging, sayur asem sepanci juga gak papa. sambel semangkok silahkan. Makanan penutupnya, rebusan jantung pisang saja. Hehehe," 

"Tapi suami saya tidak protes dengan berat badan ini," ujarnya. 

Pembelaan saudariku tercinta ini merupakan motivasinya untuk bersahabat dengan BB. Hal itu baik baginya agar tidak tertekan.. Seperti suami saya juga tidak menuntut agar sang istri kurus langsing singset keplitet. Karena saya tidak berkomimen padanya. 

Tatkala suatu hari GM di kantor saya dulu yang langsing bak super model hanya makan sesendok teh cheese cake. Biar gak ngiler, katanya. Padahal saya sudah nambah piring ketiga cheesecake. Dia berpesan, bila usiamu masih di bawah 30 tidak apa-apa manyantap semua makanan. Tapi warning bersuara mulai memasuki 30. 

Kenapa? Karena mulai usia tersebut metabolisme tubuh kita berubah. Kemampuan membakar kalori menurun. Setiap harinya berkurang 12 kalori untuk setiap tahun setelah usia 30 tahun. Dan akan menjadi lemak. Orang yang aktif berolahraga pun agak sulit menurunkan berat badan setelah usia 30 tahun. (sumber:http://brighterlife.co.id/2013/09/01/siasati-perubahan-tubuh-di-usia-30/).


Cara mencegah penimbunan lemak itu bisa dengan :
- Mengotrol porsi makan.Dengan pembakaran kalori yang berkurang, artinya harus mengurangi porsi makan. 
- Makan protein yang cukup, minimal 46 gram per hari, kira-kira sepotong daging sapi, atau sepotong paha ayam) per hari. Karena tubuh membutuhkan kalori lebih banyak untuk mencerna protein keitmbang mencerna karbohidrat. Jadi kalorinya lebih banyak hilang saat kita makan protein. 

Komitmen intinya adalah setelah usia 30 tahun, porsi makan harus dikurangi. Makan cukup ambil secentong peres nasi. (Bukan secentong nan munjung tinggi ke atas, Heheheh) Lauk satu potong saja. HIndari tamboh. Katakan cukup kepada perut. Dan jangan tergoda dengan otak-otak panggang bumbu kacang. Bolehlah kalau satu saja. Asal jangan nambah lagi.

Pengalaman naik BB hingga 23 kg setelah hamil dan melahirkan, membuat saya 'meneken kontrak' si komitmen pada hati saya. Saya tidak mau lagi merasa nyeri di pangkal paha akibat terlalu 'berlebih'. Langkah kaki terasa lebih berat dari biasanya. Nafas pun jadi tersengal-sengal.

Komitmen saya, adalahh menjaga BB tetap ideal demi kesehatan dan kenyamanan diri sendiri. Masalahnya adalah lebaran Idul Adha menyisakan banyak daging di kulkas. Jangan berfikir diberi tetangga. Mereka juga mumet menghabiskan daging itu. Subhanallah. 

Aku pasrah padamu timbangan. HIkshikshiks..... Komitmen masih ada dalam hati tapi disimpan di pojokan dulu sampai dagingnaya habis.