Sabtu, 10 Oktober 2015

Mungkin Dokternya Lelah. Salah Diagnosa.


Cerita ini agak satir sebenarnya. Embuh, dilihat dari sudut mana. Saya juga mingkep.

Alkisah. Tetangga saya beberapa hari ini tutup warung. Alias tidak berjualan. Saya sebagai langganan setia bensin eceran (dalam botol), jadi penasaran.

Kemarin warungnya buka kembali. Hore! Motor antik saya bisa langsung minum kalau kehausan. Ndadak mubeng dulu golek dodolan bensin, maraki mumet sirahku.



Momen ini saya gunakan untuk menanyakan kabarnya. Perihal pasal penutupan warung selama beberapa hari itu. Ternyata, warungnya ditutup karena Sang Istri tercinta dirawat di Rumah Sakit.

Awal kisah sakitnya, satu bulan setengah yang lalu, Si Ibu berobat ke dokter spesialis paru-paru. Keluhannya saat itu batuknya yang tak kunjung sembuh. Sudah dua mingguan. Setelah diperiksa dokter dan cek rontgen, dokter mendiagnosa Ibu menderita sakit paru-paru. Ada sedikit masalah di paru-parunya.

Dokter memberikan resep obat selama dua bulan. Obat tersebut harus diminum rutin. Dokter juga memberi wejangan untuk menerapkan pola hidup sehat.

Si Ibu, menjalankan wejangan dokter dengan baik. Obat diminum secara teratur dan rutin. Juga mengubah pola hidupnya.  Setelah masa satu bulan setengah. Ibu merasa badannya tambah sakit. Perutnya sakit sekali dan tidak nafsu makan. Kerap muntah-muntah. Terutama setelah minum obat paru-paru, Si Ibu langsung muntah.

Keluarga langsung membawa Ibu ke Rumah Sakit. Dan, hasil diagnosa dokter di Rumah Sakit, paru-paru Ibu sehat. Justru Liver Ibu yang sekarang bermasalah. Livernya bengkak. Masalah pada liver nya disebabkan oleh penggunaan obat-obatan yang tidak tepat. Ternyata, selama ini Ibu meminum obat untuk penyakit TBC, sedangkan Ibu tidak menderita TBC.

"Sekarang saya sehat Mbak. Saya ndak TBC, dikasih obat TBC, jadinya liver saya gak kuat," kata Si Ibu.

"Kok bisa gitu ya Bu? Padahal udah pakai rontgen. Maksudnya ada data tambahan lain," kata Saya.

"Saya bayar pribadi loh Mbak. Pengennya diperiksai beneran. Embuhlah. Mungkin dokternya sudah lelah. Lha wong saya antriannya paling akhir sendiri. Antriannya ya banyak. Hari sudah siang. Jadi dokter sudah lelah periksa pasien akeh," tandas Ibu.

Saya melongo dan manggut-manggut.

Ibu ini tidak ada marah sedikitpun pada si dokter yang memberi obat TBC. Tidak mengumpat. Tidak memaki. Tidak bersumpah untuk kapok periksa dokter lagi. Padahal tubuhnya sakit. Uangnya habis. Beliau malah memaklumi kondisi dokter yang mungkin lelah.

Saya justru perang batin. Dokter harus teliti dalam kondisi apapun. Ini menyangkut kesehatan manusia. Diagnosa yang diberikan fatal, akibatnya pasiennya menderita. Ah, embuhlah mungkin dokter itu memang lelah. Sama seperti saya lelah. Kadang masak sambil tidur. Nyterika sambil merem. Akibatnya masakan gosong, bajunya bolong.

1 komentar: