Selasa, 03 Maret 2015

Curhat ah, Bye-bye Baby Blues


Keluarga besar berbahagia karena kedatangan anggota baru yang lucu, imut dan menggemaskan. Iya adalah bayi. Manusia kecil yang paling suci. Keluarga, teman, kerabat pun bersuka cita menyambut kabarnya. Tak terhitung banyaknya kenalan yang datang tilik bayi. Semuanya bergembira dan mendoakan semua kebaikan pada bayi dan orang tuanya. Rumah diselimuti kebahagiaan. 

Beberapa hari dalam sukacita, tiba-tiba, sang ibunda si bayi ling-lung, disusul dengan kejang-kejang tanpa disertai demam. Kejadian tak lazim ini sontak membuatk keluarga kalang kabut. Cemas. Kuatir. Untuk sementara waktu, Ibunda terpaksa meminum obat penenang dan dilarang menyusui bayi mungil itu. 


Menurut dokter spesialis kandungan, spesialis saraf, si Ibunda bayi terserang sindrom baby blues. Peristiwa kejang juga termasuk di dalamnya. Kejang yang dialaminya karena kurangnya asupan gizi dan nutrisi sementara tubuh kelelahan luar biasa. Nutrisi wajib dipenuhi. Mutlak. Tubuh butuh nutrisi untuk produksi ASI sementara, banyak tenaga yang hilang sejak melahirkan. Kelelahan semacam ini sering tidak disadari karena luapan rasa gembira karena kehadiran si bayi. Menyusui, memandikan, menggantikan popok, dan merawat bayi butuh energi yang besar. 

Yah, Baby Blues... 

Lalu apakah itu baby blues? Rasanya waktu Ibu melahirkan kakakmu 40 tahun yang lalu tidak pernah dengar. Ibu-ibu produk jaman 50-an juga kebanyakan heran dengan nama sindrom itu. Sindrom yang rajin menyambangi para ibu baru setelah melahirkan. 

Baby blues adalah perasaan yang menghinggapi ibu baru setelah melahirkan. Perasaan galau, merasa tidak mampu jadi ibu yang baik, bingung menenangkan bayi yang akhirnya ikutan nangis, takut memegang, menggendong si bayi karena kuatir melukainya. Lebih banyak merasa putus asa tidak bisa merawat bayi.

Nah, kebanyakan ibu-ibu jaman dulu tidak mengalami perasaan semacam itu,. Sedangkan kebanyakan ibu-ibu generasi 2000-an akrab dengannya, termasuk saya sendiri. Panik dan kuatir berlebihan.

Menurut sahabat saya yang psikolog sih, sindrom itu juga disebabkan karena saya tidak mampu mengenali dan mengatasi masalah. "Coping problemnya lemah, merasa tidak berdaya dan tidak mampu," ujarnya. Galau kayaknya sebutan yang pas.

Saya merenung saat itu. Mungkin pendapatnya benar. Seringkali keinginan, harapan dan kemampuan yang tidak berjalan seiring. Keinginan dan harapan yang tsetinggi Himalaya sedangkan kemampuan hanya mampu mendaki Gunung Gede Pangrango itu juga sampai air terjun pertama saja. Despert! Desperado! Putus asa. Tiap hari nangis bombay kayak alay. 

Iya, saya punyak 1001 mimpi yang tertunda. Banyak sekali. Dan saya beranggapan bayi ini tidak boleh menghalangi saya meraih semua impian. Lemahnya coping problem. Seandainya saya mengukur kemampuan dengan membuat skala prioritas dan lebih bersabar mungkin sidnrom itu tidak akan lama bersemayam dalam hati dan pikiran. 

Melahirkan adalah proses kelahiran wanita yang ketiga. Bukan hanya bayinya yang lahir. Tapi wanita itu sendiri lahir menjadi seorang ibu. Bayi belajar untuk hidup. Si ibunda juga belajar menjadi ibu yang baik. BAIK! Jadi ibu sih gampang tapi jadi ibu yang baik terkadang banyak tekanan (yang tidak sengaja menghadang). 

"Kalau ibu dulu, ASInya deres. Lancar. Bayiku gak pernah rewel," ujar si mbah.

Sementara bayi yang ada dalam gendongan belum berhenti menangis. Bukan haus, bukan lapar, bukan ngompol. Lalu apa coba? Ibu yang baik harusnya mengerti maunya si bayi. Tapi kenyataannya, jadi Ibu yang baik tidak semudah 'ngeden'. 

Bayangan tuntutan menjadi ibu yang baik itu menghantui saya di awal hidup sebagai ibu. Buruknya lagi, saya menghadapinya sendiri. Mungkin banyak pengalaman para teman ibu dengan si sindrom ini. Ada yang ringan mungkin ada juga yang berat. Bagaimanapun itu, Ibu butuh teman untuk belajar menjadi seorang ibu. Jangan biarkan mereka sendiri. Memorinya itu mengikuti sepanjang hayat. Buruk.

Saya hanya ingin menyampaikan bahwa, jadi ibu saat ini dimana banyak tuntutan, keinginan dan harapan, mimpi, dan instan, tidak mudah. Yang saya pelajari dari pengalaman dulu, saya terlalu sombong dengan kemampuan mengatasi seorang bayi. Saya lupa pasrah pada yang punya bayi. Ilmu pasrah itu memang tinggi. Sampai sekarang juga saya masih belum lulus di bidang ilmu pasrah. 

Intinya sih, jangan biarkan Ibu baru melewati masa perkenalan dengan bayinya seorang diri. Ajarkan mereka berkenalan dengan bayinya dengan baik. Ibu dan bayi adalah manusia yang sama-sama belajar menjadi manusia baru. Mereka butuh makcomblang. 

Yuk ah jadi mak comblang. 
Bye-bye Baby blues. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar