Selasa, 19 Mei 2015

Nenek di Perjalanan Kereta Solo-Jogja


Alhamdulillah, uji coba perjalanan bawa dua anak yang aktif, 6 dan 3 tahun naik kereta Solo-Jogja, sendirian, kemarin (18/5), berjalan lancar. Kalau terdengar agak hiperbola, maafkan saya. Perjalanan itu sangat berkesan dan menyenangkan. Tapi bukan karena kehebohan dan keaktifan anak-anak saja, tapi cerita dari teman seperjalanan, seorang nenek usia 95 tahun yang membuat saya nelangsa.

Awalnya saya cuek dengan nenek yang memperhatikan ulah anak-anak. Berkali-kali saya minta maaf karena anak-anak aktif banget. Saya takut mengganggunya. Dia hanya menatap tersenyum namun matanya memerah. Hati saya tertegun melihat airmata yang mengambang itu.



"Ibu piambakan? Bade tindak pundi?" Tanya saya dalam basa Jawa.

Beliau hanya tersenyum. Oh, mungkin bukan orang Jawa, batinku. Saya ganti bahasa ke bahasa persatuan, "Ibu sendirian? Mau pergi kemana?"

Kali ini beliau tersenyum dan menjawabnya,

"Nenek mau ke Bogor. Nanti turun di stasiun Lempuyangan, nyari tiket ke Bandung,"

Kemudian, mengalirlah cerita sedihnya.

Nenek tadinya dari Lampung hendak mengunjungi anaknya yang ke-16 di Tawangmangu. Sudah lama tidak berjumpa. Entah kenapa, anak dan menantunya tidak senang dengan kehadirannya bahkan diusir. Lalu Nenek berjalan kaki mencari angkutan ke stasiun lagi. Di tengah perjalanan diantarkan seorang mahasiswa ke terminal. Karena bis banyak yang ke arah Bandung. Sampai di terminal, Nenenk tidak jadi beli tiket karena ongkosnya kemahalan dan menginap di terminal lalu melanjutkan ke stasiun Solo Balapan, dan kehabisan juga. Maka naik prameks ke Lempuyangan.

Beliau menunjukkan karcis-karcis perjalanannya dari Lampung menuju Tawangmangu. Sudah 5 hari perjalanan, ia tempuh tanpa istirahat.
"Anak saya 16, tapi tak ada satu pun yang ingat pada saya," ceritanya. Tidak ada airmata yang mngalir. Tapi matanya memerah. Mungkin sudah kering ya.

Sejak suaminya meningga, tahun 86, rumah tempat tinggalnya sudah dibagi-bagi kepada anak-anaknya. Si nenek pun tinggalnya jadi nomaden. Dari anak satu ke anak yang lain. Ia berjualan gorengan untuk menghidupi dirinya.

"Kadangkala anak saya yang di Lampung marah-marah, saya pun pindah ke anak satunya. Kalau marah juga, saya pindah lagi. Cuma saya tidak sampai pindah ke Papua menyusul anak-anak di sana,"

"Sekarang, tidak ada sat pun anak yang ingat pada saya. Hanya cucu saya yang di Bogor yang mau menampung saya," tutur Nenek lagi.

Sembari mendengarkan keluh kesah Nenek di hadapan saya, ingatan saya melayang pada cerita suami yang pernah berjumpa dengan seorang nenek di travel. Kejadiannya, nenek dari Medan yang hendak mengunjungi anaknya ke Sragen. Tapi alamat yang dibawanya ternyata tidak jelas. Nomor telepon yang dipegang nenek juga sulit dihubungi. Jika menelpon dari nomornya si nenek, nada suaranya langsung terputus. lain halnya di telepon dari nomor si pengemudi travel.

Singkat cerita, suami dan pengemudi travel menunggu si nenek di jemput anaknya di taman kota Sragen. Hingga lewat satu jam, tiada yang menjemput, dengan berat hati pengemudi travel dan suami undur diri. Entah bagaimana nasib si nenek.

Cerita lainnya lagi, saya nonton tayangan di TV O*e, tentang seorang Kakek yang pergi ke Jakarta membawa alamat palsu. Ada seseorang yang membantu sang Kakek mencari alamat itu namun tidak berhasil. Akhirnya beliau diantarkan ke kantor polisi.
Saya mengutip pernyataan pak Polisi yang diwawancarai, "Kami akan mencari anak bapak ini. Apabila ditemukan unsur kesengajaan menelantarkan, maka anaknya bisa dipidanakan. Sebab sudah tiga hari bapak ini di sini," kata Pak Polisi.

Sesaat kembali mendengarkan cerita si Nenek di kereta, yang menunjukkan kaki bekas dibacok anak-anaknya saat akan menjual rumah keempat (rumah terakhirnya). Airmataku mulai mengambang hangat.

Mereka sudah sepuh tapi bukan ampas yang layak dibuang.

Kupeluk dan kucium anak-anakku, sambil menyisipkan Alfatihah di telinga mereka. Kelak aku akan menjadi "orangtua", semoga anak-anak selalu ingat, menyayangi dan mendoakanku. Sebagai anak, semoga aku selalu ingat, menyayangi dan mendoakan orangtua dan mertuaku. .

"Semoga Nenek tiba di Bogor dengan selamat. Dan bahagia untuk seterusnya ya, Nek" ujarku menyalaminya dan berpisah di Stasiun Lempuyangan.

8 komentar:

  1. astaghfirullah. semoga kita bukan golangan dari anak durhaka yang tak tahu diri. sebab balas budi kepada orang tua itu tidak ada rumusnya. sudah seharusnya kita anak-anaknya berebut ladang amal merawat orang tua, bukan sebaliknya.

    BalasHapus
  2. astaghfirullah. semoga kita bukan golangan dari anak durhaka yang tak tahu diri. sebab balas budi kepada orang tua itu tidak ada rumusnya. sudah seharusnya kita anak-anaknya berebut ladang amal merawat orang tua, bukan sebaliknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... Semoga mbak...

      Beberapa waktu yang lalu saya pernah mendengar ceramah Mamah Dedeh, tentang perilaku anak yang demikian kepad orangtuanya. Anak tersebut beralasan karena dendan kepada perlakuan orangtua semasa kecil. Kata Mamah, "Makanya sebagai orangtua, berilah kasih sayang pada anak. Jangan ditelantarkan."

      Terlepas dari itu, orang tua tetaplah orang tua, ladang amal bagi anak-anak. Bagaimanapun orangtua kita dulu, anak-anak wajib merawatnya. Ladang amal untuk menimba pahala, bekal di akhirat.

      Alhamdulillah orangtua saya sangat penyayang dan InsyaAllah saya berusaha jadi anak berbakti kepada mereka. Aamiin.

      Hapus
  3. Astaghfirullah...smoga kita dan anak keturunan kita dijauhkan dari perilaku yang spt itu. Bagaimanapun juga orangtua tetaplah orangtua, yg harus dihormati dan dirawat saat usia mereka makin sepuh...

    BalasHapus