Waktu begitu cepat berlalu...
Anak-anak sekarang masuk fase remaja. Anak pertama sudah SMA dan yang kedua sudah jadi anak SMP. kalau dulu pas SD, kedua anak ini sekolah di tempat yang berbeda/ Nah, pas SMP anak kedua sekolah di SMP yang sama dengan kakaknya. Karena mereka beda 3 tahun, maka si adek masuk SMP, eh si kakak pindah sekolah ke SMA. Jadinya ya gak satu sekolah lagi.
Kali ini, aku pengen cerita ternyata beda sekolah waktu SD dulu itu gak bisa dibilang apik dan gak juga dibilang buruk. Masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Kalau secara umum saja nih, sekolah si kakak itu termasuk dalam sekolah elite di kotaku. Jadi, anak-anak yang sekolah di sini kebanyakan berasal dari keluarga golongan menengah atas. Untuk soal pendidikan, sekolah ini lumayan baik. Di sini, ada guru yang fokus dengan pelajaran tambahan untuk anak-anak yang bersiap ikut olimpiade. Dan , selalu sigap memberi informasi tentang lomba-lomba. Hal ini memudahkan anak dan orangtua untuk mengasah kemampuanya. Namun, di sisi lainnya, sekolah ini juga punya konsekuensi lain dari siswa-siswanya. Yaitu, konsekuensi pergaulan siswa dari anak-anak borju. Bagi orangtua yang kemampuan finansialnya pas-pasan saja buat bayar spp-nya ngos-ngosan, mundur Wir! Kalo kamu maksa, konsekuensinya anak kita akan merasak jadi kayak 'Orang termiksin'. Sepatu, peralatan sekolah, gadget, sampe liburan aja nih mereka ceritain, ya namanya aja anak-anak ya. Misalnya gini, 'Liburan kemarin kamu kemana?" "Aku kemarin aku umroh sama mama papaku," atau "Aku ke Singapura doang," ada yang merendah "Aku cuma ke Bali aja," lalu giliran anak kita, "Aku di rumah aja. gak kemana-mana" eh itu juga cuma diucapkan dalam hatinya.
Sebenarnya konsekuensi pergaulan itu bukan masalah besar ya kalau anak kita bisa menyikapinya dengan baik. Atau tipe anak yang percaya diri, cuek, dan pandai membawa diri dalam pergaulan. Sebaliknya tuh, kalau anak kita tuh, tipe yang sensitif, melankolis, jadi minder dan rendah diri. Aduh duh, sedih ah... Jadi berasa alien di antara teman-temannya. Padahal di masa-masa itu, mereka sedang membangun karakter dan kepribadian dirinya. Hal itu yang terjadi pada si kakak... Ia memendam segala rasa itu hingga kelulusan dari SD. Sebagai Ibu, sudah setiap hari nanya-nanya ke dia, Sekolahnya gimana? Temannya baik gak? Hari nii happy gak? Pokoknya segala tip parenting masa itu kayaknya aku ikutin deh. Dia selalu jawab, I'm happy, Aku lupa, Ya begitu deh... Hemmmm... Dari jawabannya aku anggap dia baik-baik saja. Toh, prestasinya juga baik, beberapa kali menang di olimpiade, lomba dan nilai di rapotnya tiap tahun membaik. Siapa yang tau apa yang ada dalam hatinya?
Saat kami ngobrolin sekolah lanjutan -mau ke SMP Swasta atau SMP Negri. Eh, jawabannya malah gak mau sekolah formal. Maunya homeschooling aja. Hah? Kok malah homeschooling? Ternyata eh ternyata, katanya si kakak dia merasa sedih selama di sekolah karena tidak ada teman, sering dikata-katain temannya karena hp nya jadul (pake hp aku karena dia belum ada hp sendiri), bahkan no wa ku dikeluarkan dari grup wa kelasnya karena pake no.wa orangtua. Meskipun ada guru di kelas, tapi sang guru diam saja.
Shock. Itulah perasaanku saat itu. Sedih dan menyesal sekali. Karena sebelum mutusin si kakak sekolah disitu, aku berkali-kali survei, tanya sini sana. Sekolahnya juga termasuk sekolah terbaik yang kuharap bisa mendidik anakku berkembang dan tumbuh dengan baik. Yah memang sekolahnya baik sih kalau hanya dilihat dari laporan keberhasilan akademis, dengan moto 'Semua anak pintar', 'Sekolah tanpa diskriminasi'. Semuanya hanya sekedar slogan bergula-gula. Aku melewatkan adanya konsekuensi dari pergaulan anak-anak 'elite'. PSatu lagi penyesalanku, mengapa si kakak memendam sendiri. Tak pernah ia ceritakan hari-hari sedihnya itu. Apa mungkin karena si kakak ini laki-laki ya jadinya ngirit curhat.
Setelah ngobrol panjang lebar, dan sempat juga konseling psikolog. Karena si kakak jadi rendah diri dan menolak bergaul dengan orang lain di luar keluarga. Dia tidak mendapat kekerasan fisik, tapi efek dari kekerasan verbal dan pengucilan itu bisa menjatuhkan mentalnya. So sad.
Akhirnya, si kakak sekolah di SMP Negri dekat rumah. Perlahan, mentalnya pulih kembali. Tentu dengan proses yang tidak singkat. Katanya dia lebih nyaman bergaul dengan teman-temannya yang notabene latar belakang ekonominya hampir sama. Tidak ada jurang perbedaan yang terlalu dalam. Yah, kalau saling cerita tentang liburan mereka, kebanyakan itu jalan-jalan ke umbul ponggok. Alias deket-deket Soloraya aja. Untuk SMA nya juga negri lagi.
Sekarang pindah cerita ke Adiknya yang dulu sekolah di SD yang beda. Secara perspektif SPP sebenarnya, 11-12 sama si kakak. Tapi, karena sekolahnya berbasis sekolah alam, jadi perbedaan ekonomi di sekolah ini tidak jadi masalah. Mereka sekolah dengan santai sekali. Seragam sekolah si adek, kaos bersablon sekolahnya, ada hari bebas seragam dan juga boleh sekolah pakai sandal saja. Si adek tidak mengalami yang namanya konsekuensi pergaulan kelas atas. Meskipun teman-temannya juga berasal dari keluarga yang financialnya mapan tapi kayaknya mereka jarang cerita tentang 'kepemilikan benda mahal'. Adek dan teman-teman lebih senang bermain bersama.Kalau hujan, mereka hujan-hujanan bareng, mereka bebas berekspresi di alam. Si adek tiap hari berburu ulat bulu, kadal, berburu ikan guppy di selokan, main lumpur, setiap waktu adalah bermain bagi mereka. Si adek setiap hari happy di sekolahnya. She has friends, has great time, she had lot of great memories.
|
|
Tapi, tetap ada tapinya... Adiknya ini sangat menikmati bersekolah di sekolah alam. Katanya karena sekolah di sini banyak santainya. Sedangkan akademisnya, yahhhh... ehmmm apa itu akademis? Ups. Tak apalah, karena sejak pindah ke SMP Negeri, dia tidak keberatan dengan semua kepadatan jadwal belajar. Dia juga rela dengan kedisiplinan di sekolah lanjutannya.
Tujuan awalnya kami menyekolahkan di tempat yang berbeda, salah satunya agar meminimalisir anak-anak dibanding-bandingkan satu sama lain. Bukan oleh kami orangtuanya tapi, oleh lingkungan sekitar. Alhamdulillah, kami 'sedikit' berhasil. Toh, tetap ada yang membandingkan mereka. Si Adik sih easy going mendengar omongan orang, namun Si Kakak yang ternyata terbawa perasaan.
"Coba aku dulu sekolah di tempat si adek, mungkin aku akan punya banyak teman, ya Bu,"
Apakah betul pikirannya itu? Ah, belum tentu ya... Kita tidak tau setangguh dan sekuat apa manusia dalam menjalani ujiannya. Kakak kuat diuji dengan 'bullying' selama itu, dan memendam sendiri. Tapi prestasi dan kemampuan akademisnya sangat baik. Apakah Kakak mampu jika diuji dengan 'kebebasan' seperti di sekolah Adek?
Begitupun sebaliknya.... Setiap sekolah pasti ada sisi positif dan minusnya, tak mengapa karena ada hitam pasti ada putih. Ada gelap, pasti ada terang.
Jadi, keduanya lulus dari SD dengan membawa hasil terbaiknya masing-masing. Pembentukan karakter dan pengembangan diri bukan hanya tergantung pada sekolahnya tapi berangkat atau modalnya dibawa dari rumah (keluarga).
Nilai postitif dari sekolah kakak adek beda, sekaligus menambah teman Ibu, nambah grup wa di hp Ibu jadi lebih banyak.
Sekarang keduanya sudah remaja. Dari mereka, aku menyimpulkan sebelum menentukan sekolah (swasta) ingat dengan strata ekonomi siswa yang sekolah di sana. Apabila itu sekolah alam, ya boleh di skip tentang strata ekonomi ini. Oiya, apabila sekolahnya berbasis agama, tetap tidak boleh berharap lebih banyak dari sekolah mengenai pengetahuan agama. Pendidikan agama terbaik berasal dari rumah.
Untuk sekolah anak ketigaku nanti - saat ini masih 3 tahun - Aku sudah memutuskan untuk nyari SD lain lagi. hehehehe.... Yang dekat rumah saja.