Pemilihan
presiden 2014 memang sudah selesai. Tapi kondisi perpolitikan masih berlangsung
'panas'. Saya gak ngurusin politik-politik itu. Banyak yang lebih ahli. Hal
paling menarik buat saya adalah pilpres kali ini memberikan pendidikan
jurnalistik bagi seluruh bangsa Indonesia.
Hampir
semua rakyat Indonesia tau tivi 'Merah' pendukung siapa dan tivi 'Biru'
pendukung siapa. Ibu saya (65 tahun) saja paham. Jikalau mau nonton tentang
capres dari Garuda Merah nonton saja yang 'Merah', kalau nonton capres dari
Banteng Moncong Putih nonton saja di tivi Biru. Masing-masing pendukung jangan
sampai tertukar tivi karena bisa bikin hati panas. Hal yang sama juga dilakukan
media cetak, apalagi media online. Demikian telanjangnya mereka sampai
masyarakat umum tahu arah keberpihakan mereka tanpa penelitian ilmiah.
Sebelumnya,
saat saya mahasiswa Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, butuh
penelitian ilmiah dengan metode yang tepat untuk mengetahui ideologi dan
keberpihakan media. Media massa medio 1990-2000 (di bawah itu terlalu jauh
jaraknya), media bermain sangat cantik. Perannya sebagai ‘The Watch Dog’ sangat
garang mengawal pemerintahan. Dari aturan baku ‘Cover Both Side’ dalam setiap
pemberitaannya mampu meyakinkan rakyat bahwa media massa sebagai ‘Pilar
Demokrasi’ yang terpercaya. Media massa boleh beropini di pojok tertentu
seperti Tajuk Rencana atau Opini Media. Berita-beritanya, harus netral!
Pada zaman dahulu (saat saya mahasiswa), tidak mudah
meneliti ideologi media dari segi pemberitaannya ini. Bahkan rumusan masalah
penelitian saya ditolak beberapa media. Karena hipotesa sementara adalah
ideologi media massa dikuasai kepentingan pemilik modal, ada smuggling, penyusupan nilai-nilai barat
dalam konteks beritanya. Untuk menyimpulkannya tentu harus dibuktikan dengan
ilmiah, ya.
Salah
satu alat pembuktiannya dengan metode framing yang bersifat kualitatif. Framing
yang artinya bingkai adalah cara pandang suatu media dalam melihat suatu
kejadian/peristiwa.
Logikanya,
ketika kita melihat sebuah rumah, mata kita hanya melihat sebagai rumah saja,
dari depan kah, dari sisi kanan atau kiri, sisi atas, bahkan dari bagian bawah
rumah. Sebagian pandangan ‘frame’ itulah yang disajikan ke orang lain. Ini tidak
terkait benar dan salah. Hanya sudut pandang. Kalau bicara makanan, ini soal
selera.
‘Frame’
yang digunakan media sebagai sudut pandang ini dibentuk menggunakan ‘resep’
yang dibuat si koki yakni reporter, editor, sidang redaksi dan kepentingan
(baca:pemilik modal). Untuk membedah ‘resep’ pembuatan berita itu, beberapa
pakar komunikasi Murray Edelman, Robert N Entman, Willian A. Gamson, Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
mengeluarkan pemikiran. Singkatnya, menurut mereka, suatu peristiwa yang diramu
jadi berita melewati proses seleksi, pemilihan kata, kalimat, wacana, informasi
yang ditonjolkan, melalui sumber berita, foto. Semuanya dibangun untuk
mengarahkan khalayak pada persepsi (pandangan) yang sama dengan media.
Saat pilpres kemarin, media massa seolah berlomba-lomba
mengajarkan tentang keberpihakannya (framing). Media membangun
kejadian/peristiwa menuruti ‘resep’ keberpihakan mereka. Sering juga lupa pada prinsip
cover both side, pemilihan kata dan kalimat, foto, gambar, narasumber juga
disesuaikan dengan kepentingan media (baca: pemilik modal). Mereka menggiring
khalayak menyetujui pandangannya.
Gamblang, tampak jelas
keberpihakannya ke ‘Ini’, yang satu ke ‘ono’ yang ntu ke ‘situ’. Makanya, ibu,
bude, bulek, teman-teman yang bukan pekerja media bahkan tukang becak langganan
saya juga tahu tentang keberpihakan media ini. “Saya gak mau nonton tivi ‘Merah”,
bikin panas hati saja. Kerjaannya jelek-jelekin melulu,” kata ibu yang berpihak
pada capres si Banteng Moncong Putih. “Saya juga gak mau nonton tivi ‘Biru’,
anti saya,” kata tante yang memihak capres si Garuda Merah.
Andaikan saya ingin meneliti ideologi dan keberpihakannya
media saat ini. Mungkin gak perlu surat pengajuan izin penelitian. Atau gak
usah diteliti, lha wong mereka udah buka-bukaan. Sesuatu yang diumbar sudah
bukan misteri yang bikin penasaran. BASI.
NB: Tulisan ini sebagai keprihatinan saya dengan
kondisi jurnalisme media massa saat ini. Kembalilah menjadi ‘Pilar Demokrasi’
bagi rakyat. Jadilah ‘The Watch Dog’. Semoga suatu saat ada media massa yang
independen dan digerakkan hati nurani. Kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar