Rabu, 15 Oktober 2014

Framing, Oleh-oleh Pilpres


Pemilihan presiden 2014 memang sudah selesai. Tapi kondisi perpolitikan masih berlangsung 'panas'. Saya gak ngurusin politik-politik itu. Banyak yang lebih ahli. Hal paling menarik buat saya adalah pilpres kali ini memberikan pendidikan jurnalistik bagi seluruh bangsa Indonesia. 

Hampir semua rakyat Indonesia tau tivi 'Merah' pendukung siapa dan tivi 'Biru' pendukung siapa. Ibu saya (65 tahun) saja paham. Jikalau mau nonton tentang capres dari Garuda Merah nonton saja yang 'Merah', kalau nonton capres dari Banteng Moncong Putih nonton saja di tivi Biru. Masing-masing pendukung jangan sampai tertukar tivi karena bisa bikin hati panas. Hal yang sama juga dilakukan media cetak, apalagi media online. Demikian telanjangnya mereka sampai masyarakat umum tahu arah keberpihakan mereka tanpa penelitian ilmiah.

Sebelumnya, saat saya mahasiswa Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, butuh penelitian ilmiah dengan metode yang tepat untuk mengetahui ideologi dan keberpihakan media. Media massa medio 1990-2000 (di bawah itu terlalu jauh jaraknya), media bermain sangat cantik. Perannya sebagai ‘The Watch Dog’ sangat garang mengawal pemerintahan. Dari aturan baku ‘Cover Both Side’ dalam setiap pemberitaannya mampu meyakinkan rakyat bahwa media massa sebagai ‘Pilar Demokrasi’ yang terpercaya. Media massa boleh beropini di pojok tertentu seperti Tajuk Rencana atau Opini Media. Berita-beritanya, harus netral!

Pada zaman dahulu (saat saya mahasiswa), tidak mudah meneliti ideologi media dari segi pemberitaannya ini. Bahkan rumusan masalah penelitian saya ditolak beberapa media. Karena hipotesa sementara adalah ideologi media massa dikuasai kepentingan pemilik modal, ada smuggling, penyusupan nilai-nilai barat dalam konteks beritanya. Untuk menyimpulkannya tentu harus dibuktikan dengan ilmiah, ya.

Salah satu alat pembuktiannya dengan metode framing yang bersifat kualitatif. Framing yang artinya bingkai adalah cara pandang suatu media dalam melihat suatu kejadian/peristiwa.

Logikanya, ketika kita melihat sebuah rumah, mata kita hanya melihat sebagai rumah saja, dari depan kah, dari sisi kanan atau kiri, sisi atas, bahkan dari bagian bawah rumah. Sebagian pandangan ‘frame’ itulah yang disajikan ke orang lain. Ini tidak terkait benar dan salah. Hanya sudut pandang. Kalau bicara makanan, ini soal selera.

‘Frame’ yang digunakan media sebagai sudut pandang ini dibentuk menggunakan ‘resep’ yang dibuat si koki yakni reporter, editor, sidang redaksi dan kepentingan (baca:pemilik modal). Untuk membedah ‘resep’ pembuatan berita itu, beberapa pakar komunikasi Murray Edelman, Robert N Entman, Willian A. Gamson, Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki mengeluarkan pemikiran. Singkatnya, menurut mereka, suatu peristiwa yang diramu jadi berita melewati proses seleksi, pemilihan kata, kalimat, wacana, informasi yang ditonjolkan, melalui sumber berita, foto. Semuanya dibangun untuk mengarahkan khalayak pada persepsi (pandangan) yang sama dengan media.

Saat pilpres kemarin, media massa seolah berlomba-lomba mengajarkan tentang keberpihakannya (framing). Media membangun kejadian/peristiwa menuruti ‘resep’ keberpihakan mereka. Sering juga lupa pada prinsip cover both side, pemilihan kata dan kalimat, foto, gambar, narasumber juga disesuaikan dengan kepentingan media (baca: pemilik modal). Mereka menggiring khalayak menyetujui pandangannya.

Gamblang, tampak jelas keberpihakannya ke ‘Ini’, yang satu ke ‘ono’ yang ntu ke ‘situ’. Makanya, ibu, bude, bulek, teman-teman yang bukan pekerja media bahkan tukang becak langganan saya juga tahu tentang keberpihakan media ini. “Saya gak mau nonton tivi ‘Merah”, bikin panas hati saja. Kerjaannya jelek-jelekin melulu,” kata ibu yang berpihak pada capres si Banteng Moncong Putih. “Saya juga gak mau nonton tivi ‘Biru’, anti saya,” kata tante yang memihak capres si Garuda Merah.

Andaikan saya ingin meneliti ideologi dan keberpihakannya media saat ini. Mungkin gak perlu surat pengajuan izin penelitian. Atau gak usah diteliti, lha wong mereka udah buka-bukaan. Sesuatu yang diumbar sudah bukan misteri yang bikin penasaran. BASI.


NB: Tulisan ini sebagai keprihatinan saya dengan kondisi jurnalisme media massa saat ini. Kembalilah menjadi ‘Pilar Demokrasi’ bagi rakyat. Jadilah ‘The Watch Dog’. Semoga suatu saat ada media massa yang independen dan digerakkan hati nurani. Kembali.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar