Senin, 08 Oktober 2018

I am (not) a great Mom. Sepotong Kisah Ibu Lalui Pospartum Sindrom


Jauh hari sebelum hamil, Saya sudah mempersiapkan diri agar tidak berjumpa dengan baby blues. Segala buku, artikel dan perisapan mental dipupuk semua. Termasuk ngasih tau Pak Suami buat jaga-jaga. 

Alhamdulillah, kehamilan berjalan lancar, sehat dan nikmat. Tak ada kendala yang berarti. Apalagi memang usia dan mental yang sudah matang, 25 tahun. Tak ada alasan tidak siap. Saya cukup percaya diri menyongsong kehadiran bayi kecil ini. I will be a great mom. Benarkah?


Nyatanya, Saya memang tidak seperti Aktris Holywood, Brooke Shields yang merasa tidak ada ikatan dengan anaknya. Ikatan Saya dan bayi sangat kuat. Sesaat bayi itu lahir, sungguh jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia adalah segalanya.

Saat kami harus berpisah. Si Bayi harus mendapat perawatan karena kata dokternya, darahnya CRP positif. Jadi harus diantibiotik. Aduh, rasanya itu ya sedih banget. Ngeliat bayi sekecil itu diinfus. Disuntik pagi dan sore. 

Suatu hari, suster mengambil contoh darah si bayi di selangkangan. So pasti, si bayi nangis. Dia yang disuntik, kaki emaknya yang lemas. Darahnya dicek untuk tau angka bilirubin si bayi. Sedangkan tidak ada tanda fisik kuning. Apalagi, goldar orangtua sama dengan bayi. Saya, suami dan anak. Kecil kemungkinan menyebabkan bayi kuning. Sedangkan penyebab si bayi di antibiotik saja tidak ditindaklanjuti. Kata dokter anaknya, cukup dengan antibiotik sesuai dosisnya. 

Wah, di sini keparnoan mulai timbul. Jangan-jangan? 

Saya tidak rela bayi Saya jadi korban komersialisasi rumah sakit! Tiga hari antibiotik sudah cukup, Saya cabut paksa bayi ini dari rumah sakit. Meski dosisnya masih seminggu lagi. 

"Saya tidak bertanggung jawab bila, bayi Ibu bisa meninggal," tandas dokter spesialis anak itu.

"Saya yakin bayi ini sehat".

Bismillah, Saya ikhtiar. I am a great Mom, dont I?


Di rumah.

Ibu Saya sangat memanjakan. Saya bagaikan ratu. Hanya boleh menyusui dan makan saja. Selebihnya Ibu Saya yang melakukannya. Masak, cuci-cuci dan lainnya. Ibu ke Jakarta untuk menemani Saya melahirkan. Uh, bahagianyaa. Karena, Suami kerja di luar kota. 

Tubuh setelah melahirkan ini rasanya sakit sekali. Sendi-sendi seperti berderak kekurangan oli. Rasanya kayak mau patah, saat akan bangun dari jongkok. Matapun lengket, ngantuk banget. Tapi si bayi minta nyusu, jadi dikuatin aja.

Beberapa minggu kemudian, bayi Saya muntah. Muntahnya banyak, membasahi bajunya, daster sampe sprei. Katanya Ibu-ibu berpengalaman itu hal yang biasa. Eh, muntahnya semakin sering. Bahkan dia bisa muntah dalam keadaan tidur. Cuma "uhuk", lalu keluar semua isi perutnya.

Saya langsung bawa si bayi ke rumah sakit besar di Jakarta Pusat. Saya melahirkannya, di Jakarta Selatan. Konsultasi dengan dokter anak spesialis gastro, fokus ke pencernaan pokoke. Bahkan, minta cek darah keseluruhan. Saya takut, arogansi Saya berakibat buruk padanya. Alhamdulillah, semua hasil darahnya normal. Leukositpun normal. Diagnosa dokter, muntahnya kerna kekenyangan mungkin. Mungkin.

Bayi ini memang hobi nyusu. Setiap nempel, paling sebentar 20 menitan. Setiap dipaksa lepas dari 'nenen', dia akan bangun, nyari-nyari. Ibunya sudah kuatir klo muntah lagi. 

Tenan.... 

I am a great mom. Saya tidak akan membiarkan terjadi apapun padanya. 

Saya nekat pindah ke Surakarta, saat bayi ini berusia 50 hari. Resign dari kantor sehari sehabis cuti melahirkan. Masuk kantor cuma nganter surat doang. Tinggal di rumah keluarga suami meskipun dia sendiri kerja di kota lain.

Saya tak peduli cerita teman-teman tentang kisah legend 'Ibu Mertua'. Ya memang Saya belum pernah kenal keluarga suami sebelum kami akad nikah. Saya datang sebagai orang asing. Sendiri. Tanpa malaikat Saya, Ibu kandung Saya sendiri. Karena Saya sendiri sudah jadi malaikat untuk bayi Saya. Demi, rekomendasi suami bahwa fasilitas kesehatan di kota ini lebih mumpuni. At least, minim komersialisasi kesehatan. Istilah yang cukup akrab di telinga selama tinggal di Jakarta. 

Di sini, Saya bukan ratunya. Semua harus dilakukan sendiri. Hanya untuk kebutuhan kami berdua sih. Saya pasti bisa. Demi si bayi!

Untuk persiapan perang. Termometer selalu ada di pinggir kasur. Sebelum bayi mandi pagi atau sore, Saya akan cek suhu tubuhnya. Di ketiak dan dubur. Jangan sampai luput hal sekecil apapun. Semua data dicatat dalam buku notes kecil. 

Logika Saya, bila kebutuhannya terpenuhi dengan baik maka dia akan selalu sehat. Bila kebutuhan Saya terpenuhi dengan baik maka Saya akan selalu sehat. 

Wajarlah bila pegal-pegal. Sendi tubuh  berderak gak karuan. Tulang pinggang terasa sakit. Tak nyaman berjalan tegak. Agak membungkuk lebih baik. Yah, mungkin akibat kalsium yang disedot si bayi. Saya tingkatkan lagi, suplemen kalsiumnya ganti dengan yang 'Fortos', kalsium untuk orang lanjut usia. Kebutuhan kalsium Ibu menyusui lebih tinggi dari orang normal. Yah, mungkin kebutuhannya sama besar dengan lansia. Abaikan... 

Alhamdulillah, tumbuh kembang si bayi, berjalan baik. Meskipun muntah se-gentongnya tetap terjadi. Hampir setiap hari. Cucian ibu satu anak bisa menyamai cucian keluarga mertua satu rumah dengan lima orang dewasa. Saya nyuci sendiri. Gak enak aja karena cuciannya banyak bekas muntas. Kalo kata orang Jawa, pekewuh.

I am a great Mom. 


Saya selalu siap sedia saat si bayi bersuara. Jangankan nangis, dia bersuara 'ah' 'ih' 'uh' saja, 'Tring' Ibu langsung nongol. 

Bayi ini aktif banget di malam hari. Dia ngoceh, ketawa, bercanda. Gak mau nyusu... Tapi gak rewel. Dia anteng banget. Pengennya diajak ngobrol gitu. Aiiihsh, great mom melayani bayinya dengan baik duong... Kebetulan Saya juga gak ngantuk. Rasanya udara malam hari itu dingin sekali. Anginnya sepoy masuk ke dalam kamar. Seperti tidur di emperan toko saja. Padahal selimut udah dua lapis. Emangnya Solo (nama lainnya Surakarta) udaranya kayak Malang, ya? Saya mikirnya begitu, dulu...

Namun, pas siang tetap terjaga. Umbahannya banyak. Harus masak juga, busui harus menjaga asupan gizi. Biar bayi sehat selalu. Capek? Wajarlah, namanya juga Ibu-ibu. Paling ke tukang pijet. Udahan.

I am a great Mom, dont I?

Saat itu, Saya gak suka ngaca. Baju seadanya, dandan awut-awutan. Makanya sering dikira 'Sing momong' alias 'babysitter'. Tampak kali dengan daster dan jilbab seadanya, kulit sawo matang, kontras dengan bayi yang berkulit putih. 

"Makanya kalau keluar rumah, jangan pake daster terus," pesan Ibu Mertua, dulu. 

Abisnya, daster kan paling nyaman dan mudah dicuci. Lagian, males banget liat muka di kaca. Sedih aja bawaannya.

Lah, si bayi udah usia 4 bulan pun, masih muntah. Muntah sambil tidur, muntah pas lagi mandi, muntah pas lagi digendong. Muntah sak enak moodnya. Pernah, dia lagi tidur terus muntah. Saya lagi di kamar mandi. Saking banyaknya muntah, nutupin hidungnya. Sampe gelagapan. Dan itu horor banget buat Saya. Saya lalai, Saya lalai. Gitu terus yang terbayang. Dan tiada yang tau tentang kejadian dalam kamar. 

Gak akan terulang lagi. I am a Great Mom!

Rajin ngukur suhu, setiap kali bayi tidur, Saya terus mengamati. Jika perutnya bergerak naik turun, atinya ayem
Buku pengetahuan "The Baby Book", wejangan dari Ibu, jadi senjata pamungkas. Setiap kali meraba dahinya menghangat, tak peduli tengah malam bolong, parutan bawang sedia ngompres jidatnya. Atau tiba-tiba Saya raba telapak kakinya dingin, parutan jahe langsung nemplok. 

Tak luput barang sedetik. Mengamati setiap senti pada tubuhnya. 

Saking telitinya, Saya segera mengetahui ada fimosis pada penisnya di usia menuju 5 bulan. Alhamdulillah, segera tertangani dengan baik tanpa operasi alias sunat.

Sehingga, Saya semakin sulit tidur. Meskipun ngantuk mendera. Rasanya sangat dingin. Padahal baju sudah basah kuyup keringetan. Saking dinginnya, si bayi Saya pakaikan baju lengkap tangan dan celana panjang, plus kupluk. Sampe diprotes oleh Ibu Mertua. 

"Sumuk kayak gini, kok dipakein baju panjang." Ujarnya sambil menyuruh Saya mengganti baju. 

Saya menurutinya dengan pikiran kacau. Apakah cuacanya emang panas? Kenapa Saya merasa kedinginan? 

Suasana hati makin tidak terkendali. Dalam kamar, kami berdua saja. Si bayi tidur, Saya hanya menatapnya. I am a great mom. Alhamdulillah, omongan dokter anak, yang bilang umur bayi Saya dua minggu itu salah. Lalu, airmata ngucur sendiri. Sambil sesegukan. 

I am a Great Mom. Dont I?

Saya kembali cek kesehatan si bayi lagi ke dokter anak senior di Surakarta. Alhamdulillah caranya berkomunikasi dengan pasien, membuat Saya terang dan jelas. Sehingga merasa secure, jika bayi Saya sehat Wal'afiat

Sayangnya, kejelasan dari dokter itu, tidak serta merta menyamankan perasaan. 

Saya merasa terasing. Sepi. Ndak ada teman, di dunia nyata atau dunia maya. Dulu belom musim medsos rame kayak sekarang. Kalo teman dunia ghaib sih kayaknya ya ada gitu. Tapi gak dipeduliin lah. Fokusnya cuma satu, hanya satu, titik itu, ya si bayi itu. *jangan dinyanyiin ala Via Vallen. Kangen orangtua, kangen teman-teman, kangen semuanya.

Saat malam, si bayi yang masih nokturnal, ngoceh sendiri. Saya hanya mengamatinya saja. Airmata bisa auto ngalir. Sedih, melow, entah karena apa. 

Setiap suami nelpon, hanya bisa nangis. Gak bisa ngomong pake kata-kata.

Perasaan itu tak terkendali. Bahkan hampir kehilangan akal sehat. Silet kecil sedikit menggores pergelangan tangan. Tidak sakit tapi kok lega aja gitu. Sambil nangis, sedih, tak berdaya. Samar, suara lantunan Al-fatihah terdengar ditelinga. Entah dari mana asalnya. Rasanya saat itu suara Allah ya... Rasanya rinduuuuu sekali. BergegasSaya wudhu  dan sholat tahajud. Dua rakaat. Selama sholat Saya nangis. Tumpah semua di sajadah. 

Tubuh ini menghangat. DIA terasa sangat dekat. Mengelus punggung dan memeluk. "I need you, Ya Allah." "Tolong Saya, Ya Allah," doa yang terucap saat sujud lama.

Tak pernah merasa Allah dekat, sebelum ini. Yah, mungkin sholat selama ini hanya ritual yang tak bermakna. Tambah lagi logika dinomorsatukan. Lupa untuk pasrah. Dan lupa pada yakin dengan Yang Maha Kuasa. Bukan yakin pada hasil lab, dokter, apalagi pada 'pengetahuan' diri sendiri (alias sok tahu). 

Saya menyerah pada kemutlakan logika. 


"Pulangkan Saya ke rumah orangtua Saya." Hanya kata itu yang terucap pada suami.

Akhirnya, saat si bayi 7 bulan. Usia yang aman bagi bayi mengudara, Saya pulang ke Palembang. 

Hingga lima tahun kemudian, Saya membaca poster tentang tanda-tanda depresi di sebuah ruang tunggu praktik dokter. Semuanya, pernah Saya alami. Dan, sepuluh tahun kemudian baru bisa menulis cerita ini. Just for healing myself. I am not a great mom. Saya hanya wanita yang melahirkan bayi, dan belajar menjadi Ibu yang baik. 

Saya tidak konsultasi ke dokter, apakah benar pernah dihinggapi depresi. Semoga saja bukan. Tapi pelajaran paling besar dari pengalaman itu adalah pasrah. Lakukan usaha terbaik lalu pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. 

Ambil nafas dalam-dalam sambil mengucap Allah, dan hembuskan perlahan sambil mengucap Alhamdulillah. Resapi setiap oksigen yang dihirup hingga masuk ke paru-paru. Cara ini Saya gunakan saat perasaan tak karuan. Ampuh mengusir rasa gak jelas itu. Terutama saat "PMS". Banget....

Selalu berbahagia ya Moms.... 

Gejala-gejala yang patut diwaspadai antara lain:
  1. Perasaan sedih atau tidak bersemangat yang menetap.
  2. Sulit untuk dekat dan akrab dengan bayi.
  3. Terus-menerus merasa sedih dan menangis tanpa alasan jelas.
  4. Mengabaikan diri sendiri, misalnya tidak mau makan, tidak mengganti baju atau mandi.
  5. Kehilangan rasa humor dan minat pada hal yang selama ini disukai.
  6. Terus-menerus merasa khawatir bahwa ada sesuatu yang salah pada bayi.
  7. Gelisah atau suasana hati cepat berubah dan mudah tersinggung.
  8. Kerap merasa kelelahan dan tidak bertenaga.
  9. Tidak percaya diri, merasa bersalah, ingin menyakiti diri sendiri, atau bahkan timbul keinginan untuk bunuh diri.
  10. Sulit tidur.
  11. Sulit berkonsentrasi atau membuat keputusan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar