Minggu, 30 Oktober 2022

7 Cara Keluar dari Baby Blues


Belakangan ini kata-kata mengenai kesehatan mental, Anxiety, depresi, Post Partum Depresion (PPD), jadi trending topic. Saya juga tidak paham betul dengan kata-kata itu. Dulu hanya tau sebatas Baby Blues Syndrom, kepribadian ganda-nya Sybil dan Orang Dengan Gangguan Jiwa. Dan Saya merasa yakin bahwa dengan logika, keimanan dan kemampuan berpikir yang baik, gangguan semacam itu berada jauh dari lingkaran kehidupan Saya.

Saya ini tipikal orang yang berpikir realistis, no menye-menye. So, Saya  Pe De banget dong waktu ituu. Saking logisnya dulu, banyak teman-teman yang males curhat. "Lo tu manusia apa bukan sih! Pake hati lo!" Senada gitulah protesnya. Saya pikir mereka aja yang terlalu lebay sih... ngggg.

But, till that moment... Jeng jeng jeng; Being a wife, a mother, daughter and daughter in law in the same time, its not as simple as I thought. Why it took really hard? Padahal, itu 'hanyalah' bagian dari siklus kehidupan manusia normal. Entahlah, nyatanya sejak  pasca melahirkan, Saya yang anti menye-menye ini jadi auto dramaqueen. Jadi kayak pabrik airmata... Ujug-ujug mewek, nangis, mewek-nangis. Sebetulnya Saya juga sebel dengan kecengengan itu.

Segala perasaan haru biru itu makin lengkap tatkala malam tiba. Setiap malam, Saya merasa kedinginan yang amat sangat. Dinginnya hingga menusuk tulang. Ngiluuu. Anehnya, baju yang Saya kenakan justru basah kuyup karena keringat. Kondisi itu berlangsung hampir selama 6 bulan awal kehidupan Saya sebagai Ibu baru.

Then, Saya tuh takut tidur. Pikiran tuh takut bayi Saya tak bernafas. Setiap waktu mengamati dada dan perutnya 'harus' bergerak. Artinya dia bernafas. Setiap lima menit diukur suhu tubuhnya. Saya takut tiba-tiba suhu tubuhnya naik. Anak Saya tak boleh sakit, karena Ibunya sigap. Overthinking.

Saya coba mengeluh kepada orang terdekat. Namun, tak ada yang bisa mengerti saat itu. Bahwa, Saya lah yang terlalu lebay dan manja. "Ingatlah jika semua wanita itu akan jadi Ibu". "Kemudian jadilah Ibu yang baik". "Seperti Ibu-ibu terdahulu, bayi-bayi mereka tumbuh dengan baik, tetap bisa bekerja dan beraktivitas biasa. Gak manja". 

I hate me and myself at that time. 

"Kenapa sih gue?? Bukan gue banget deh!I didnt know what happened. Kemudian... Setelah bertahun-tahun... Saya membaca tentang  gejala depresi di sebuah poster kesehatan dalam ruang tunggu praktek dokter. Which is cocok dengan kondisi yang 'carut marut' itu.

Apakah benar Saya depresi waktu itu? Maybe Yess... Maybe No. Saya gak ke ahlinya saat itu. Perasaan 'lemah' itu berlanjut sampe bertahun-tahun. Kelahiran anak kedua juga menambah buruk keadaaan 'dalem jiwa'. Hiks... 

Sempat merasa malu juga karena merasa kurang iman. Pernah dengar kalo baby blue atau depresi itu penyebabnya karena kurang iman. Saya tingkatkan ibadah, baik wajib maupun sunah. Namun ternyata, perasaan carut marutnya itu masih menyerang. 

Jadi kayaknya bukan karena iman yang kurang juga deh. Lebih kepada kemampuan kita mengelola emosi dan stres. Emosi dan stress itu bagaikan Rolercoster. Apalagi dalam kondisi kelelahan, kelaparan dan kesepian mendengar tangisan bayi itu seperti suara desingan peluru. Suara tangisnya itu  bikin stress. 

But I am healthy now, I hope for sure... Saya berupaya untuk lebih sehat mental dengan cara-cara ini:

1.Confess
    Mengaku bahwa Saya bukan Super Woman. I need help. Mengabaikan omongan orang lain. Dibilang manja, males, cuek aja. Yang penting Saya 'fresh'.

2. Help / Bantuan
    Minta bantuan untuk menjaga dan merawat anak. Atau membereskan urusan rumah.

3. Speak / Ngomong
    Komunikasi dengan orang terdekat, yaitu suami. Suamilah yang harus paling tau tentang kondisi istrinya. Meski kadang-kadang sebel dengan jawaban sok tau suami. Pokoknya keluarkan saja semua kata-kata yang ada di pikiran saat itu. Meski gak bikin lega juga tapi pokoknya dia juga ikut bertanggung jawab. Gak semua wanita sih bisa begini. Apalagi jika kepribadian yang introvert... Tapi yang penting sih, sebagai wanita harus percaya bahwa dirinya 'berdaya'. Dicoba saja...
 
4. Me Time / Waktu sendiri
    Kalau saya mengartikannya dengan hobi. Ternyata emang penting banget punya hobi loh. Bisa jadi penyaluran stres dan tekanan tinggi saat dewasa ini. Saya itu gak punya hobi. Cuma terbiasa nulis karena pekerjaan sebagai wartawan. Jadi kebiasaan itu masih melekat saat sudah mengundurkan diri. Apapun yang Saya rasakan, ditumpahkan lewat tulisan oret-oret. Saya pengen maki-maki gitu, sama "...." (sensor), ditulis oret-oretan. Tulisannya disimpen aja.

5. Skinship 
    Menyentuh anak tanpa penghalang. Saat stress berat, Saya peluk si bayi yang 'naked' saat menyusui. Cara ini memberi rasa cinta yang dalam. I love my baby more... Atau bisa minta suaminya sering-sering menyentuh dengan kasih sayang dan cinta, pastinya. Kegiatan yang efektif untuk menurunkan tensi stress pada wanita.

6. Olahraga
    Slogan "Men sana in corpore sano", di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, itu tepat banget. Bukan hanya atlit yang berolahraga. Kita pun harus olahraga. Saya dulu ketemu teman yang nyari barengan yoga di rumah nya. Waktu ini anak kedua udah 8 tahun. Rutin yoga dua kali seminggu. Dan rasanya ngefek ke tubuh dan hati. Nafas jadi lebih panjang dan dalam. 

7. Relaksasi
    Dengan nafas yang baik, relaksasi ini mudah tercapai. Saat pikiran penat, lakuksn relaksasi maka hati jadi ayem lagi.

Stres pasca lahiran terjadi lagi pada kelahiran anak ketiga. Tapi, dengan bekal pengalaman dan cara mengelola stres dengan baik, Alhamdulilah bisa cepat terkondisikan.
    
Alhamdulillah sekarang ini Saya merasa lebih baik. Jiwa Saya lebih sehat. Lebih mudah tertawa dan gampang merasa bahagia. 

Mungkin cara Saya keluar dari depesi akan berbeda dengan orang lainnya. Karena kita kan memang manusia yang beda. Tapi, dengan mengetahui pengalaman orang lain, setidaknya tidak merasa 'sendiri dan aneh'.

Motherhood is awesome but sometimes drive me crazy.  Semangat sehat jiwa dan raga ya Moms... Love yourself...



     
   







Tidak ada komentar:

Posting Komentar