Sabtu, 11 April 2015

Tragedi Keplek Ilat Mas Thole dan Mbak Gendhuk


Tiba-tiba pengen keplek ilat. Saya ketularan suami yang asli Solo. Keplek Ilat adalah kebiasaan kebanyakan warga Solo untuk wisata kuliner. Pokoke, seminggu sekali mesti lah ada nggo ngeplek ilat. Mungkin maksudnya memanjakan lidah kali dengan makanan, gitu kali ya.

Saya dan dua kruclis, Mas Thole dan Mbak Gendhuk, siap-siap. Pakai jaket dan gendongan pengikat untuk menunggangi kuda beroda dua. Halah. Tujuan saya, ke soto seger Mbok Giyem di daerah Tipes. Belom pernah nyoba soalnya,



Kami bertiga duduk manis di kursi panjang. Kira-kira sepuluh menit, tiga mangkok soto campur nasi ukuran kecil datang. Asapnya mengepul-ngepul. Anak-anak menunda makan sotonya karena panas. Mereka makan makanan pembuka, sate udang. Alhamdulillah lahap banget. Udah abis, nyomot lagi. Tambah bakwan udang. Anak-anak emang suka banget udang.

Si Mas Thole mulai beranjak nyeruput soto. Perlahan-lahan. Slurrrppp... Klo Mbak Gendhuk sih, satu, dua, tiga sendok cukup. Hahahaha. Lambungnya kecil sodara-sodara. Porsi mini, kecil, mungil banget itu sudah cukup mengenyangkannya.

Coba tengok Mas Thole. Nyenengin banget liat dia makan. Satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya. Mas Thole nyeruput soto gantian makan mendoan. Nikmat banget. Tau-tau, mangkoknya sudah kosong, tapi satu mendoan masih di tangan. Dia pun menyambar mangkok soto adiknya yang masih penuh. Melanjutkan makan mendoan dan nyeruput soto.

"Wooooooowwww, tunggu Mas. Stop. Nanti kekenyangan," ujarku langsung trauma.

Iya sih trauma. Lha, Mas Thole dari kecilnya punya tombol muntah otomatis. Pas nyusu ASI, Mas Thole langsung hoek (muntah). Pas lagi kondangan. Dia makan apa aja, lahap banget, ditutup dengan aksi hoeeek. Pas lagi makan di rumah makan, acara makan-makan diwarnai aksi hoooeeekkk. Kemana-mana saya selalu bawa tiga sampai empat baju ganti. Terakhir, pas ditraktir eyang putrinya, Mas Thole juga, hooeeekkk.

Saya tutup mata. Tutup muka. Trauma dengan aksinya itu. Kalo yang sudah-sudah malunya kan dibagi sama bapaknya, mbah nya, eyangnya, pakde nya. Nah, kalo sekarang, malunya sendiri tambah bersih-bersih sendiri ini dah. Oh, tidak!!!

"Mas, Ibu mohon. Sudah ya makannya. Nanti kalo mas kekenyangan takut hoek," pintaku memohon dengan sangat.

"Tenang Ibu, perutku masih bisa makan," katanya sambil terus menyantap sotony Mbak Gendhuk.

"Kalo gak dihabiskan nanti mubazir loh bu. Kata Ibu kan, mubazir temannya setan," ujarnya santai.

Hatiku mulai meringis...

"Ibu saja yang makan punya adek ya... Perut Ibu kan besar. Masih muat kok," bujukku.

Mas Thole mendadak diam dan mengambil nafas panjang.

O...O...O..O tanda-tanda mau Hoeekk nih. OOOoooooo....

Aku menutup wajah dengan tangan.

"Perutku udah penuh kayaknya bu. Abisin ya, bu" katanya sambil mengehela nafas.

"Oke.. oke"

Langsung kuserobot mangkok sotonya. Nyam nyap nyam nyap... sluuurrpp. Satu menit habis.

"Aku gak bisa minum lagi, bu. Air jeruknya bungkus saja bawa pulang ya," kata Mas Thole.

"Oke! Siap!"

Ahhhhh, lega tenan. Alhamdulillah Ya Allah. Lolos juga dari aksi Hoek... Aman. Fiuh!!!

Kupanggil mbak pelayan yang mondar-mandir sibuk banget itu, untuk minta plastik. Buat bungkus air jeruk.

Dan.... Praanggggggggg!!!!!!

Tiba-tiba paha dan lenganku panas. Nyesss.

Mbak Gendhuk menatapku takut. Gugup. Memelas. Dia rupa-rupanya berdiri di atas kursi. Entah apa yang dilakukan sebelumnya. Satu gelas berisi teh panas pecah di lantai. Berkeping-keping. Teh nya membasahi kaki dan tangan ibunya. Lantainya juga. Tentu saja.

"Lega dari aksi Hoek, terjadi tragedi gelas pecah," batinku. Tak ada tenagaku untuk marah padanya.

"Maaf ya mbak," kataku kepada pelayan yang ada di sana. Sambil membersihkan pecahan gelas. Sembari memastikan Mbak Gendhuk mematung di kursinya. Saya kuatir kena pecahan gelas.

Saya buru-buru mengajak anak-anak bayar di kasir dan pulang.

"Ibu, tadi kan adek naik ke atas meja. Terus kakinya kena gelas. Terus pecah, gitu bu," lapor Mas Thole.

"Adek cuma mau liat sambal sama garamnya saja kok," kata Mbak Gendhuk membela diri.

"Iya sih. Padahal sebelumnya sudah mau menramu jamu teh + sambal. Untung ketauan Ibu, digeser ke tengah meja, jauh-jahu dari Mbak Gendhuk. Eh, kejadian juga. Tragedi!" batinku kemut-kemut.

Sibuk trauma kakaknya, adeknya bikin cerita.

Wassalam.

2 komentar:

  1. Keplek ilat, ini yang ketiga kalinya saya mendengar kata ini. Hehehe, ini dimuat di Ah tenane Mba?

    BalasHapus