Sabtu, 19 Juli 2014

Mengetuk Empati Semurni Murni Empati


Masih dalam semangat euforia Si Sulung masuk SD.

Pada masa pendaftaran, pihak sekolah sudah menjelaskan panjang lebar mengenai konsep inklusi dalam sekolah tersebut. Sekolah akan menerima semua anak, baik yang 'normal' maupun 'berkebutuhan khusus'. Sekolah ini tidak menerapkan sistem tinggal kelas. Bila anak mengalami kesulitan tentang satu pelajaran tertentu maka tim kurikulum sekolah bersama guru akan memodifikasi kurikulum dan cara pengajaran. Intinya, tidak mengejar target angka namun pemahaman. Jadi jangan heran bila nanti anak ibu akan sekelas dengan Anak Berkebutuhan Khusus, misalnya, Tunarungu, Autis, Down Syndrome dan lainnya.

Saya berfikir, hal tersebut bisa menjadi unsur pendidikan juga bagi Si Sulung. Belajar toleransi dan menerima perbedaaan sejak dini. Menimbulkan rasa emphati yang murni. Bila nanti si sulung bertanya begini begitu tentang materialisme (yang saya tidak mampu memberikannya), saya bisa mengalihkan kepada ucapan syukur bahwa Allah menganugerahi anggota tubuh yang lengkap dan sehat. Harapan lebihnya lagi, Si Sulung bisa tumbuh jadi anak yang sholeh dan penyayang terhadap sesama. Aamiin.

Ketika hari pertama sekolah, Si Sulung satu kelas dengan lima orang siswa berkebutuhan khusus. Mereka didampingi seorang Guru Pendamping Khusus. Ada siswi dengan Down syndrome, dua siswa penderita Tunarungu, dan dua siswa dengan autis. Si sulung pun mengambil kursi bersebelahan dengan siswa Down syndrome. Ingin kutarik dia untuk pindah kursi, tapi mengapa? Saya yang di mulut ini berucap manis dengan cita-cita idealis.: agar Si sulung berempati, terkejut getir. Airmata hampir jatuh netes. Ada yang tidak beres dengan hati ini. Sedikit tidak terima dengan kenyataan ini. Nyatanya, saya yang tidak siap! Nyatanya saya tidak punya empati yang murni itu!

"Mas, gimana sekolahnya? Apakah menyenangkan? Teman-temannya gimana?" Saya penasaran dengan perasaannya.

"Mas suka sekolah di sana. Ustad dan ustadzahnya baik-baik. Temannya juga baik. Bantuin mas nulis," ceritanya bahagia.

Seminggu berlalu.

Jumat tadi (18/7), Saya berkenalan dengan seorang ibu dari anak dengan Autis. Saat ini sang anak sudah di kelas empat SD (9 tahun). Menurutnya, saat ini anaknya sudah bisa menghafal juz ama Al quran, juga berbicara, berhitung, menghafal dan lainnya. Ia tidak membayangkan hal itu sebelumnya karena dulu, anak tersebut sangat impulsif dan agresif. Dalam hati, "Semua orangtua harus bangga pada anaknya tanpa terkecuali. Dan semua anak berhak mendapat perhatian, perlakuan dan pendidikan yang sama-sama ramah terhadap anak-anak tanpa pembedaan."

Pas pulang sekolah, tiba-tiba siswi down sidrom (sekelas dengan si sulung) mendatangi saya untuk salim. Dia tersenyum dan berucap da-dah, dengan terbata-bata. Subhanallah! Dengan keterbatasannya dia berupaya keras menyapa saya. Saya malu! Malu sudah sombong merasa lebih baik. Kali ini air mata saya jatuh. Saya malu bahwa hati ini pernah merasa menyesal dengan keberadaannya dekat Si Sulung. Semoga Allah mengampuni saya. Semua manusia sama di mata Allah. Maafkan saya ya, gadis kecil yang cantik. Ibu ini belum punya hati yang kasih.

Tampaknya,  bukan Si Sulung saja yang belajar berempati dan toleransi yang murni. Saya, Ibunya, orang dewasa yang hanya bisa bicara empati tanpa merasa. Ngomong toleransi tanpa hati.

Nak, semoga hati kita mempunyai empati yang murni ya. Kita belajar bersama tentang toleransi dan kasih sayang pada sesama. Aamiin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar