Kamis, 25 September 2014

Kurikulum 2013 bikin anak stres, orang tua mumet, guru nya puyeng.


Saya pernah baca surat edaran Kemendiknas yang seliweran di FB. Entah siapa yang membaginya. Intinya, siswa TK dilarang diajarkan calistung - baca, tulis dan berhitung. Juga melarang calistung sebagai tes masuk SD. Sebagai orangtua, kabar ini sangat menyejukkan. Calistung memang harus dikenalkan di TK, dengan tahapan pengenalan semata. 

Namun, sayangnya setelah duduk di bangku kelas 1 SD, terjadilah penjomplangan itu. Bikin mulut saya ternganga, emosi membara, otak semrawut. Surat dari guru kelas nya mengatakan, "Mohon ananda dibantu calistungnya, agar tidak ketinggalan materi."

"Apa-apaan ini? Materinya seperti apa sih???"


Keesokan harinya, saya sudah berhadapan dengan pak guru kelas si Sulung. 

"Pak guru yang terhormat, terima kasih atas perhatiannya. Sewaktu anak saya TK, saya cuek dengan calistung. Kebetulan ada surat edaran kemendiknas yang melarang TK diajarkan calistung. Kalaupun diajarkan hanya sebatas pengenalan saja. Yang terpenting mereka senang dan suka membaca dan kenal konsep berhitung. Tapi di buku ini, ada pertanyaan, sebutkan pasangan bilangan yang berjumlah 15.  Jujur, saya bingung cara menyampaikannya. Bila penjumlahan sederhana, pengurangan saya maklum, tapi ini. Lalu sebutkan judul, isi bacaan, dan menulis teks mandiri. Apa-apaan ini. Kok jomplang dari TK ke SD ?" cerocos saya menyodorkan buku tematik nya pada si bapak guru yang terlihat frustasi itu. 

"Materi yang seperti apakah yang harus dikejar dan dicapai anak kelas 1 SD ini?" cerocos saya.

"Ini materi kurikulum yang harus dicapai, bu," jawab pak guru sambil membukakan buku kurikulum dan target pencapaian. 

Ini hanya sebagian cuplikan target kurikulum 2013.

Bahasa Indonesia: Mengenal teks deskriptif, mengenal teks terima kasih, membuat, memahami, dan menyampaikan teks terima kasih mengenai sikap kasih sayang secara mandiri dalam bahasa lisan dan tulisan. Membuat teks diagram, label tentang anggota keluarga dan kerabat secara mandiri dalam bahasa lisan dan tulisan. 

Matematika: Mengenal bilangan asli sampai 99, mengenal dan memprediksi pola-pola gambar, mengurai bilangan asli sebagai hasil penjumlahan atau pengurangan dua buah bilangan asli. membaca dan mendeskripsikan data pokok yang ditampilkan pada grafik kongkret dan piktograf.

PPKN, mengenal tata tertib, keberagaman karakteristik, mengamati dan menceritakan keberagaman karakteristik individu di rumah dan sekolah. dll

Seni Budaya dan Prakarya, mengenal cara dan hasil karya seni ekspresi, mengamati berbagai bahan, alat dan fungsinya, membuat karya kreatif.


Dalam kurikulum 2013 ini anak harus mandiri dan kreatif. Bagus bukan? Tapi, dalam pelaksanaannya. Mandiri yang bagaimana? 

"Sejujurnya, kurikulum 2013 ini membuat kami harus kerja keras. Agar siswa bisa memahami materi. Rasanya sulit melepas siswa untuk mandiri. Sedangkan penilaian berdasarkan hasil jawaban ulangan-ulangan tertulis seperti ini," jelas pak guru.

"Siswa memang bisa membaca namun belum bisa untuk memahami isi bacaan. Maksud bacaan. Konsepnya belum paham," paparnya lagi.

"Maka, kami sangat berharap kepada para orangtua untuk lebih keras lagi melatih anak-anak belajar calistung di rumah," pintanya.

"Kurikulum yang lama masih bisa santai mengajarkan calistung. Tapi kurikulum yang ini...," ujarnya geleng-geleng kepala.

Saya termangu dan melongo. Terdiam mendengar curhatan si bapak guru itu. Sepertinya ada lompatan yang luar biasa dari jenjang pendidikan TK dan SD. TK dilarang mengajarkan calistung, sementara di kelas 1 SD harus menguasai calistung di level mahir. Bukan pemula.

Sejujurnya saya tidak ingin memaksakan calistung pada si Sulung. Pelan-pelan saja, yang penting dia paham. Namun kenyataan berkata lain. Kurikulum ini membuat Si Sulung naik kereta super express untuk sampai di tujuan. Bisa dikejar dalam tiga bulan secara intensif, Si Sulung harus bisa membaca di level mahir. Done!

Bagi para orangtua mengajarkan calistung mudah kok. Intensif kan waktu saja. Bisa. Lancar jaya. Lancar. 

"Baik, mas sekarang tuliskan kalimat ini. Doni menyikat gigi pakai odol," 

"Siap, bu"

Done!

"Saya mau minum susu kotak boleh?" pintanya. Saya mengangguk, sebagai hadiah agar semangat belajar calistung. 

Kotak susu pun kosong. Senyumnya sudah mengembang lagi. Namun...

"Bagus, cukup belajar calistungnya. Buang sampah mas dulu. Ada kotak susu, bungkus permen, bungkus donat, kertas, kertas, bungkus-bungkus, ckckckckckck," ujarku mendelik. Padahal tempat sampah bertengger manis segeseran pantatnya saja. 

"Oh, no," ujarnya tutup mata. 

Memang benar kata sebuah tulisan di ayah edy, Anda bisa mengajarkan calistung hanya 3 bulan saja. Tapi untuk mengajarkan etika butuh waktu belasan tahun. Saya sangat setuju dengan kalimat ini.

Saya masih dalam proses yang sangat panjang. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar